Nanti malam akan ada pesta dansa di balai desa. Pesta itu diadakan setiap tahun untuk merayakan keberhasilan panen penduduk desa. Jauh-jauh hari, gadis-gadis di desa itu mempersiapkan semuanya. Gaun, perhiasan, sepatu. Semua ingin tampil istimewa. Apalagi biasanya mereka sudah menerima ajakan seorang pemuda untuk menjadi pendampingnya.
Sebetulnya Cissy juga memikirkan pesta itu, tetapi belum ada seorang pemuda pun yang mengajaknya.
“Bagaimana, Cissy, kau sudah mendapatkan teman dansa?” tanya Loly padanya. Mereka sedang asyik mencuci pakaian di tepi danau. Cissy menggeleng.
Cissy adalah gadis desa yang sederhana. Tingginya sedang, tubuhnya agak kurus, dan penampilannya bersahaja. Hanya saja air mukanya yang ceria senantiasa memancarkan cahaya.
Ketika teman-temannya selesai mencuci pakaian, Cissy masih sibuk membilas. Teman-temannya naik ke atas tebing dan beramai-ramai pulang.
“Apakah wajahku buruk rupa sehingga tak pernah ada pemuda yang tertarik padaku?” tanya Cissy pada diri sendiri sambil berkaca di permukaan danau. Wajahnya memang tak secantik Loly dan teman-teman lainnya.
“Kalau boleh bermimpi, aku ingin menjadi gadis yang mempesona. Kecantikanku terkenal di mana-mana, banyak orang yang terpukau kagum!” Cissy berkhayal.
Tiba-tiba…byuuurrr!!! Cissy tersentak. Cipratan air membasahi wajahnya. Seekor angsa mendarat mendadak di atas danau. Sayapnya mengepak-ngepak lemah dan hampir tenggelam.
Buru-buru ditangkapnya angsa yang terluka parah itu. Sebilah anak panah menggores sayapnya. Darah mengucur deras. Cissy langsung merobek ujung gaunnya dan mengikat luka angsa itu untuk menghentikan pendarahan.
Tanpa Cissy sadari, peristiwa itu disaksikan seorang pelukis dari seberang danau. Pelukis itu sedang duduk termenung di depan kanvasnya, mencari inspirasi. Ia menganggap kejadian itu amat menakjubkan. Mulailah imajinasinya bekerja.
Karena Cissy berada jauh di seberang danau, pelukis itu tak dapat melihat wajah si gadis dengan jelas. Dari jauh, sosok Cissy tampak sempurna, karena saat itu kebajikan hatinya bersinar. Pelukis itu menggoreskan kuasnya, hingga terciptalah gambar seorang gadis cantik yang menolong seekor angsa yang terluka. Diberinya lukisan itu judul “Bidadari dan Angsa”.
Suatu ketika, seorang pemilik galeri bersedia memajang lukisannya. Lukisan itu ditawar oleh seorang kolektor seni dari kota. Sang kolektor seni gemar memamerkan lukisan itu pada kerabatnya.
Salah satu kenalan sang kolektor adalah seorang pemahat ternama. Dia begitu mengagumi lukisan itu, sampai ia membuatkan patung perunggu tentang bidadari dan angsa. Wajah patung itu sangat cantik jelita. Banyak orang yang mengagumi kecantikan gadis dalam pahatan perunggu itu. Masyarakat memujinya sebagai sebuah mahakarya.
Ketenaran patung Bidadari dan Angsa terdengar oleh seorang penulis mashyur. Kisah bidadari dan angsa itu mengilhaminya untuk menulis sebuah buku. Buku itu bercerita tentang percintaan seorang bidadari dan pangeran tampan yang dikutuk menjadi angsa. Kisah itu tiba-tiba menjadi luar biasa terkenal.
Seorang sutradara opera menuangkan kisah itu ke dalam naskah drama untuk dipentaskan. Dia minta bantuan seorang komponis hebat di negeri itu untuk membuatkan simfoni orkestranya. Simfoni itu sangat indah. Sehingga mengilhami seorang penari terkenal untuk menciptakan tarian Bidadari dan Angsa.
Dalam pementasan, sang bidadari diperankan oleh seorang aktris cantik yang berbakat. Pementasan perdana disaksikan keluarga istana. Pementasan itu sukses besar. Kisah drama yang terkenal itu pun dipentaskan ke seluruh penjuru negeri. Pertunjukannya sukses di setiap kota dan desa yang disinggahi.
Ketika teater keliling itu mengadakan pertunjukkan di desanya, Cissy dan teman-temannya tak mau ketinggalan. Mereka menonton pertunjukkan itu beramai-ramai. Mereka sangat terpesona pada pertunjukan itu. Terutama pada tokoh bidadari yang cantik jelita.
“Wah, seandainya aku bisa memerankan tokoh bidadari secantik itu!” gumam Loly pada teman-temannya. Mereka baru saja pulang dari menonton pertunjukan.
“Huuu… bidadari itu cantik jelita! Kau jadi angsanya saja!” sahut Myrna. Teman-temannya langsung menyambut dengan gemuruh tawa.
“Wah, bicara soal angsa, aku jadi teringat pada angsaku di rumah!” teriak Cissy tiba-tiba. Angsa yang dua tahun lalu diselamatkannya di tepi danau kini dipeliharanya di rumah. “Aku belum memberinya makan!” Cissy langsung terbirit-birit pulang. Teman-temannya riuh tertawa.
“Ha…ha…ha…Cissy! Cissy! Walaupun kau pelihara angsa itu sampai tua, dia tak akan pernah menjelma menjadi pangeran!” teriak Loly.
Hihihi… Cissy ikut tertawa. Walau angsa itu tak akan pernah berubah menjadi pangeran, tetapi Cissy senang memeliharanya.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Dwi Pujiastuti
15 Dampak Positif Globalisasi bagi Kesenian Daerah, Materi Kelas 6 SD Kurikulum Merdeka
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | YANTI |
KOMENTAR