Kedua pembantu Tuan Abu menunduk penuh penyesalan. Mereka merasa bersalah telah lalai menjaga rumah majikannya. Tentu harta karun itu tak ternilai harganya.
Sementara itu, Gendon langsung pergi ke Kali Jaba. Dengan seperangkat peralatan lengkap Gendon mencari pohon sawo kecik yang tumbuh di tepiannya. Dengan susah payah digalinya tanah dengan cangkul kecil.
Dukk! Tiba-tiba mata cangkulnya terantuk benda yang keras.
“Nah, ini dia harta karun impianku!” gumam Gendon sambil menyeringai girang. Dia mengeduk tanah dengan tangannya dan mengangkat benda itu sekuat tenaga. Sebuah blek kaleng yang telah berkarat!
Gendon tertawa. Tentu isinya emas batangan atau permata. Wah, beratnya bukan main! Dibukanya tutup blek yang rapat dengan ujung linggis yang pipih. Uuuugh…. berhasil! Tutup blek terangkat. Gendon sudah tak sabar melihat isinya. Gendon terperangah! Blek itu penuh berisi butiran kaca yang sangat indah, bening seperti berlian, tapi sama sekali tak berharga. Sebab butiran-butiran itu hanya kelereng kaca berwarna-warni!
“Sial!” gerutu Gendon penuh amarah.
Hari menjelang pagi dan usahanya semalaman sia-sia belaka. Dilemparnya blek berisi kelereng tersebut hingga berceceran di tanah. Dia pulang dengan tangan hampa.
Tak lama kemudian, Tuan Abu beserta pelayan dan tukang kebunnya tiba di tepi Kali Jaba.
“Ooo… harta karunku! Pencuri itu tak jadi mengambilnya!” sorak Tuan Abu. Pelayan dan tukang kebunnya ikut bersorak. Pikir mereka, tolol benar pencuri itu, meninggalkan harta karun begitu saja. Tetapi tukang kebun dan pelayan itu melongo saat melihat Tuan Abu memunguti kelereng-kelereng yang berserakan di tanah.
“Mana harta karun itu, Tuan?”
“Ini harta karunku! Dulu aku dan Bano, sahabat kecilku, sangat senang mengumpulkan kelereng. Bagi kami, kelereng-kelereng ini amat berharga. Kami sengaja memasukkannya ke dalam blek kaleng dan memendamnya di dalam tanah. Kami berjanji menyimpannya sebagai harta karun paling berharga. Sekarang Bano telah pindah ke kota. Ah ya, besok aku akan mengunjunginya. Sudah lama kami tidak berjumpa. Akan kubawa kelereng ini. Tentu kami akan mengenang masa-masa kecil kami yang indah!” gumam Tuan Abu gembira.
Sementara itu, si pelayan dan tukang kebun hanya saling berpandangan bingung.
Sumber: Arsip Bobo, Cerita: Dwi Pujiastuti
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR