Tuan Abu seorang pedagang yang kaya raya. Rumahnya mewah dengan harta berlimpah. Tuan Abu hidup sebatang kara. Istrinya sudah lama tiada dan mereka tidak dikaruniai seorang anak pun.
Tuan Abu tidak menyadari kalau saat ini kediamannya menjadi incaran seorang pencuri. Gendon nama pencuri itu. Sudah lama Gendon memperhatikan rumah Tuan Abu yang sangat sepi pada malam hari. Apalagi kalau Tuan Abu sedang pergi ke kota untuk berdagang. Rumah itu bagai tak berpenghuni. Hanya ada seorang pelayan dan tukang kebun yang tinggal di paviliun belakang. Tentu mereka sudah tertidur pulas sebelum larut malam.
“Saat itulah kesempatan yang baik untuk beraksi!” pikir Gendon suatu ketika.
Pada suatu malam, Gendon mengendap-endap di balik semak. Dia melompati pagar, lalu menyelinap ke dalam kamar Tuan Abu. Dalam benaknya terbayang gelimang uang dan perhiasan.
Gendon membobol pintu kamar. Waaah… bola matanya berbinar-binar. Di sudut ruangan, berdiri sebuah lemari berpintu empat. Tentu harta Tuan Abu tersimpan di sana. Dengan hati-hati Gendon membobol pintu lemari. Diperiksanya setiap laci. Tak ada tumpukan uang seperti yang diidamkan, apalagi perhiasan! Pencuri rakus itu membuka laci lemari satu persatu. Hanya ada tumpukan pakaian, dokumen, perjanjian jual-beli, kuitansi, dan…hei! Sepucuk surat usang yang kertasnya telah menguning. Gendon penasaran. Dibacanya isi surat tersebut.
Kepada Abu sahabatku,
Jaga baik-baik harta karun kita. Harta karun yang tak ternilai harganya. Ingat, jangan sampai lupa letak persembunyiannya. Di bawah pohon sawo kecik di pinggir Kali Jaba. Kamu harus berjanji untuk menyimpan rahasia ini.
Bano
Alangkah terkejutnya Gendon membaca tulisan itu. Tentu ini surat wasiat. Petunjuk harta karun! Buru-buru diselipkannya surat itu ke dalam sabuk kulitnya. Gendon melenggang keluar rumah dengan hati senang bukan kepalang. Dia mendapat sesuatu yang lebih berharga dari setumpuk uang atau segenggam perhiasan. Surat wasiat harta karun itu tentu akan menjadikannya kaya tujuh turunan!
Tuan Abu yang baru pulang berdagang, mendapati kamarnya berantakan. Tuan Abu pun menyadari kalau kamarnya baru saja dimasuki pencuri. Tuan Abu segera memeriksa barang-barangnya.
“Apa saja yang hilang, Tuan?” tanya pelayan dan tukang kebunnya.
“Surat wasiat harta karunku!” gumam Tuan Abu sambil terkulai lemas.
Kedua pembantu Tuan Abu menunduk penuh penyesalan. Mereka merasa bersalah telah lalai menjaga rumah majikannya. Tentu harta karun itu tak ternilai harganya.
Sementara itu, Gendon langsung pergi ke Kali Jaba. Dengan seperangkat peralatan lengkap Gendon mencari pohon sawo kecik yang tumbuh di tepiannya. Dengan susah payah digalinya tanah dengan cangkul kecil.
Dukk! Tiba-tiba mata cangkulnya terantuk benda yang keras.
“Nah, ini dia harta karun impianku!” gumam Gendon sambil menyeringai girang. Dia mengeduk tanah dengan tangannya dan mengangkat benda itu sekuat tenaga. Sebuah blek kaleng yang telah berkarat!
Gendon tertawa. Tentu isinya emas batangan atau permata. Wah, beratnya bukan main! Dibukanya tutup blek yang rapat dengan ujung linggis yang pipih. Uuuugh…. berhasil! Tutup blek terangkat. Gendon sudah tak sabar melihat isinya. Gendon terperangah! Blek itu penuh berisi butiran kaca yang sangat indah, bening seperti berlian, tapi sama sekali tak berharga. Sebab butiran-butiran itu hanya kelereng kaca berwarna-warni!
“Sial!” gerutu Gendon penuh amarah.
Hari menjelang pagi dan usahanya semalaman sia-sia belaka. Dilemparnya blek berisi kelereng tersebut hingga berceceran di tanah. Dia pulang dengan tangan hampa.
Tak lama kemudian, Tuan Abu beserta pelayan dan tukang kebunnya tiba di tepi Kali Jaba.
“Ooo… harta karunku! Pencuri itu tak jadi mengambilnya!” sorak Tuan Abu. Pelayan dan tukang kebunnya ikut bersorak. Pikir mereka, tolol benar pencuri itu, meninggalkan harta karun begitu saja. Tetapi tukang kebun dan pelayan itu melongo saat melihat Tuan Abu memunguti kelereng-kelereng yang berserakan di tanah.
“Mana harta karun itu, Tuan?”
“Ini harta karunku! Dulu aku dan Bano, sahabat kecilku, sangat senang mengumpulkan kelereng. Bagi kami, kelereng-kelereng ini amat berharga. Kami sengaja memasukkannya ke dalam blek kaleng dan memendamnya di dalam tanah. Kami berjanji menyimpannya sebagai harta karun paling berharga. Sekarang Bano telah pindah ke kota. Ah ya, besok aku akan mengunjunginya. Sudah lama kami tidak berjumpa. Akan kubawa kelereng ini. Tentu kami akan mengenang masa-masa kecil kami yang indah!” gumam Tuan Abu gembira.
Sementara itu, si pelayan dan tukang kebun hanya saling berpandangan bingung.
Sumber: Arsip Bobo, Cerita: Dwi Pujiastuti
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR