Dadong Griya yang menakutkan itu, tinggal tepat di belakang sanggah rumah kami. Letak rumah yang saling membelakangi, membuat kami tak pernah bertemu. Kata Demas, Dadong itu bungkuk, bertengkuluk, dan sangat misterius.
Darus, kakakku yang paling berani, mengajak kami membuktikan bahwa Dadong Griya itu bisa menjadi leak. Setiap malam, kami mengintip dari jendela ke arah tembok pemisah sanggah kami dan rumah Dadong. Siapa tahu ada kilatan cahaya dan kelebatan siluman.
Suatu malam, secercah sinar memasuki sanggah. Lalu tiba-tiba menyorot ke arah jendela. Kami memekik dan berjatuhan. Terdengar langkah-langkah mendekat, lalu sinar itu menerkam kami!
“Aaaa…”
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tegur Bapak tegas. Oooh, ternyata Bapak dengan senter di tangan.
Suatu hari, kami menyandarkan sebuah tangga ke pagar tembok. Dari ketinggian, kami mengawasi keadaan di balik tembok. Di tanahnya yang luas, Dadong Griya membangun rumah-rumah kecil untuk dikontrakkan. Demas, teman Darus, bersama orang tuanya mengontrak rumah di sana.
Pohon manga yang terletak di sudut tanah itu, menarik minat kami. Cabang-cabangnya yang kokoh, berbuah banyak, menjulur ke arah sanggah. Seakan menantang keberanian kami untuk memetik. Tunut, Darus, dan aku bergantian menimpuki pohon mangga itu dengan batu dan potongan kayu.
“Kalian sungguh berani!” ujar Demas yang melihat kami. “Kalau Dadong Griya marah, matanya jadi merah. Gigi Dadong panjang dan hitam, rambutnya putih semua,”jelas Demas dengan nada seram.
“Apakah kakinya menyentuh tanah?” tanyaku. Hantu tidak menyentuh tanah menurut cerita yang kudengar.
“Gila kamu, Ninis! Kau pikir aku berani melihatnya!” Demas bersungut.
Selama-lamanya aku tak berharap bertemu nenek jahat itu. Tetapi suatu hari Darus kepergok saat sedang melempari mangga. Suara Dadong Griya melengking, “Awas, bila kulihat kalian!”
Darus terengah-engah berkata, “Matanya merah, rambutnya berkibar.”
Sejak itu kami tak pernah mengganggu pohon mangga Dadong Griya lagi. Tetapi, hari ini kami mendapat kabar baik dari Demas. Dadong Griya sedang pergi. Ia tak ada di rumah.
Tunut melempar ranting tinggi ke udara. Jatuh di dedaunan pohon mangga, lalu meluncur jatuh di atap rumah Dadong. Terdengar geraman mengerikan, “Grr-grrr, kaliankah itu, anak-anak nakal?”
Tunut, Darus, dan aku langsung berlarian masuk rumah. Tunut geram, “Sial! Demas tega membohongi kita! Katanya Dadong mungkin cari mangsa di tempat lain. Sebab darah bayi-bayi tetangganya telah habis dihisapnya.”
Kupejamkan mata rapat-rapat. Cerita Demas itu memang menakutkan. Hii, bagaimana kalau Dadong Griya tahu, bahwa saat ini hanya kami bertiga di rumah? Bagaimana kalau ia datang dan memangsa kami?
“Kita harus membukakan pintu bila Dadong Griya kemari. Bila tidak, ia bisa berubah menjadi leak dan masuk lewat lubang kunci. Yang penting, kita harus berani menatap langsung ke matanya. Hantu itu takut bila kita berani!” Tunut menjelaskan dengan suara bergetar. Ia membekali kami sebutir bawang merah dan mengajak bersembunyi di bawah jemuran. Setahu kami, leak takut pada bawang merah dan jemuran.
Esoknya, kami mendatangi Demas.
“Masa aku bohong!” tukas Demas. “Kemarin, Dadong Griya memang pergi pagi-pagi dengan tas besar. Hari ini juga! Kukira ia pergi jauh. Mana aku tahu kalau ia kembali secepat itu!”
“Kalau begitu, sepulang sekolah nanti kau ikut melempari pohon mangga Dadong Griya! Kalau bohong, kamu sendiri yang kena getahnya!” kata Tunut.
“Aku tak bohong!” bantah Demas. “Kalian tahu tidak, sekarang Mbok Dasni jadi korbannya. Sebelah kaki Mbok Dasni bengkak. Dadong Griya benar-benar kehabisan mangsa anak-anak, sekarang ia menghisap kaki orang dewasa.”
Kami mengenal Mbok Dasni. Ia penjaja kue basah yang sering mampir ke rumah. Ia juga mengontrak rumah Dadong Griya.
“Kasihan Mbok Dasni!” keluhku.
“Tapi dia bodoh!” ujar Demas. “Ia mau saja menerima obat serbuk yang dikasih Dadong Griya. Pasti bengkaknya makin menjadi!”
“Sekarang kesempatan membalas nenek jahat itu! Kita sikat habis buah mangganya!” Darus berseru. Sepulang sekolah kami beriring-iringan menuju rumah. Sebuah sandal kulit hitam mengkilat tergeletak di depan pintu. Rupanya Ibu mendapat tamu. Ibu menyambut kami, lalu memperkenalkan kami pada tamunya yang duduk rapi,
“Dadong Griya, ini tiga anak saya.”
Kami tertegun.
“Oh, ini anak-anak nakal itu!” suara halus terdengar dari perempuan tua di hadapan kami. Matanya tidak merah, tetapi tajam mengawasi kami. Kami membalas pandangannya. Kami tak boleh takut bila tak ingin dikuasai roh jahatnya.
“Memalukan! Apa anak-anak masih suka melempari mangga Dadong?” Ibu bertanya. Bukannya menjawab, nenek tua itu malah tertawa.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Lena D.
Keterangan (Bahasa Bali)
Dadong = nenek
Leak = hantu, makluk jadi-jadian
Sanggah = tempat persembahyangan keluarga
Bertengkuluk = memakai handuk yang dilingkarkan di kepala untuk menutupi rambut.
Terbit Hari Ini, Mengenal Dongeng Seru dari Nusantara di Majalah Bobo Edisi 35, yuk!
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR