Sekilas ia sama saja dengan anak-anak perempuan lainnya. Rambutnya diekor kuda, kulitnya agak hitam, dan seragamnya pun tidak baru. Sadijah, pindahan dari sekolah di Desa Cipeteuy.
Ia masuk agak terlambat, diantar Kepala Sekolah. Ia duduk sendiri di bangku belakang baris keempat, satu-satunya bangku yang masih kosong.
Kadang-kadang anak-anak mencuri pandang bila ada kesempatan. Sadijah tampak serius mendengarkan pelajaran. Namun, ketika bel istirahat tiba, tiba-tiba ia menyalami anak yang duduk di depannya.
"Kenalkan, aku Sadijah. Namamu siapa?" tanyanya. Satu per satu anak disalami.
Ia mengamati kawan barunya sambil mencoba menghafal namanya.
Akhirnya ia menyalami Mirta dan Tino, yang terakhir keluar dari kelas.
"Tino!" Terdengar suara Tino ketika mereka bersalaman.
"Tino, sang detektif!" tambah Mirta.
"Ah, jangan percaya. Mirta memang pandai mengarang!" kata Tino. Namun mata Sadijah tiba-tiba berbinar-binar.
"Detektif? Waah, kita ini sama, Io. Aku juga dijuluki detektif oleh kawan-kawan di desaku," kata Sadijah.
Mirta dan Tino terbelalak, dan kemudian tertawa.
"Kalau begitu mari kita dengarkan pengalaman detektif wanita kita," ajak Mirta dengan bersemangat. Dan beberapa saat kemudian anak-anak sudah merubungi Sadijah seperti semut merubungi gula.
"Pernah di desaku ada kasus pencurian domba. Dombanya satu, tapi yang mengaku memilikinya ada dua, yaitu Ujang dan Ihin. Mereka katakan nama domba mereka si Putih," demikian cerita Sadijah.
"Ketika banyak orang berkumpul di rumah Pak RT, aku juga ikut menonton. Sulitnya, orang sering melihat Ujang dan Ihin bersama-sama menggembalakan ketujuh domba mereka. Jadi tidak jelas siapa yang punya tiga domba, dan siapa yang punya empat domba."
Anak-anak sangat tertarik."Pak RT berkali-kali meminta supaya mereka jujur saja, tapi keduanya tetap berkeras domba itu milik mereka," kata Sadijah.
"Lalu aku mengatakan bahwa aku tahu domba itu milik siapa dan Pak RT mengizinkan aku bertindak," kata Sadijah.
"Kalau sudah tahu domba itu milik siapa, bukan berarti kamu memecahkan kasus!" tiba-tiba Agus berkata.
"Tunggu dulu, Gus. Ceritanya belum selesai," kata Tino. la amat tertarik mendengar kisah detektif wanita itu.
"Aku belum tahu si Putih itu milik siapa, tapi aku tahu cara membuktikannya," kata saijah. "Domba itu lalu kumasukkan ke kamar tidur Pak RT."
"Gerrr," anak-anak tertawa."Teruskan, teruskan!" terdengar suara Mirta.
"Kemudian kusuruh Ujang memanggil si Putih," Sadijah meneruskan.' Putih, Putih, mari keluar!' begitu kata si Ujang."
"Kuamati reaksi si Putih. Ternyata si Putih diam saja. Jadi kemudian kuminta Ihin memanggil si Putih," sambung Sadijah, "Ihin pun berseru, 'Putih, klek, klek, klek, Putih, klek, klek, klek. 'Suara klek, klek, klek itu ditirukan oleh Sadijah dengan menggulung lidahnya ke atas.
"Nah, si Putih berlari keluar kamar. Ihin menangkap dan menggendongnya. Orang-orang bersorak dan mengejek Ujang. Ujang pun dinasihati oleh Pak RT dan penonton bubar," Sadijah mengakhiri ceritanya.
Anak-anak bertepuk tangan. "Cerita kasus lain lagi, dong!" pinta Mirta.
"Lainnya adalah kasus ketika adikku disuruh menjaga kambing-kambing pamanku yang akan dibawa ke kota," kata Sadijah.
"Ah, tadi kasus domba, sekarang kambing. Memang tak ada yang lain, kok kasus hewan melulu?" tanya Dewi.
Anak-anak tertawa. Namun Sadijah tidak marah.
"Kalau kalian tak mau dengar, ya sudah," kata Sadijah. "Aku juga mau mendengar cerita Tino."
"Mau, mau! Ceritakanlah!" kata beberapa anak.
"Singkat saja, ya. Sebentar lagi kan pasti bel masuk berbunyi. Begini, adikku disuruh menjaga sepuluh ekor kambing yang ditambatkan di pohon oleh pamanku. Ternyata adikku pergi bermain layang-layang. Tiga jam kemudian Paman datang, adikku memang ada di sana. Lalu ia minta uang pada Paman. Paman tak mau memberi. Paman bilang adikku itu tidak terus menerus menjaga kambing. Adikku bilang ia terus menerus menjaga di dekat kambing itu," kata Saijah.
"Lalu kamu disuruh menjadi hakim, begitu bukan?" tanya Tino.
"Ya, betul. Tahukah kamu bagaimana membuktikan kebohongan adikku?"
Sadijah bertanya. Ia memandang para pendengarnya. Anak-anak melemparkan pandangan ke arah Tino dan Agus. Tapi, kedua anak laki-laki itu hanya menggelengkan kepala.
"Caranya mudah saja. Aku mengatakan pada adikku, 'Memet, kalau kamu jaga di dekat kambing itu tiga jam lamanya, pasti baju dan tubuhmu bau kambing. Tapi kamu malah bau keringat dan terik matahari.' Dan adikku mengaku bahwa dia pergi bermain layang-layang," demikian cerita Sadijah.
Anak-anak tertawa riuh. Bel masuk berbunyi. Sekarang bertambah lagi seorang anak yang gemar memecahkan masalah di kelas mereka.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna
Menuju Dua Dekade, National Geographic Indonesia Gelar Pameran Foto Sudut Pandang Baru Peluang Bumi
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR