"Apanya yang baik? Jorok begitu! Bajunya selalu kumal ..."
Bukannya menurut, Dini malah memberikan beberapa bajunya kepada Esti. Itu kuketahui ketika Esti main ke rumah dengan memakai baju adikku yang kukenali. Begitu Esti pulang, tanpa dipanggil Dini melapor kepadaku.
"Kak Dewi bilang, baju Esti selalu kumal. Itu baju loakan, ibunya hanya mampu beli di situ. Baju Esti memang tidak bagus, tapi bersih. Waktu dia minta beberapa baju, Dini kasih. Kalau bajunya bagus, dia boleh bermain dengan Dini, ya?!"
Tentu saja tidak boleh! Bermain dengan anak jorok itu, adikku ikut-ikutan jadi jorok. Pulang ke rumah pasti kotor. Mainannya tanah dan bunga-bunga.
Masih banyak lagi sikapku yang tidak bijaksana terhadap Dini. Kejadian seminggu yang lalu membuka mataku dan sekarang aku menyesaaal sekali.
Sore itu aku mengajarinya matematika. Mungkin pelajaran itu cukup berat baginya. Satu jam aku menjelaskan, belum juga dia mengerti. Sikap tak sabaranku kambuh lagi. Kubentak-bentak dia, bahkan beberapa kali aku menggebrak meja. Dini tersentak-sentak.
Akibatnya, malamnya badan Dini panas dan mengigau terus. Berhari-hari ia demam. Selama itu, setiap kudekati adikku itu akan menjerit-jerit dan ketakutan. Aku sedih karena penolakannya itu, tetapi aku tahu Dini lebih menderita daripadaku.
Syukurlah, sejak dua hari yang lalu Dini mulai tenang dan mau menerimaku. Rasa bersalahku mulai berkurang ketika Dini tertidur lelap dalam belaianku. Wajahnya suci dan damai.
Atas seizin Mama, kubelikan dia sebatang permen coklat yang besar. Adikku itu suka cita. "Takkan habis makan sendirian," katanya.
"Boleh dikasih Esti juga," usulku.
Dini menatapku. Aku tahu apa yang harus kukatakan.
"Dini boleh berteman dengan siapa saja. Anak yang kaya, juga anak yang miskin. Yang penting, dia anak baik dan cocok bagi Dini."
Dini menciumku. Matanya berkaca-kaca. Air mataku sendiri sudah jatuh berderai. Kupeluk dia dengan erat. Aku begitu menyayanginya dan aku tahu semestinya mengungkapkannya lewat sikap ... bukan kata-kata belaka!
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Lena D.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR