Pagi itu Iva bangun kepagian. Hari baru pukul empat lewat 10 menit. Suasan sunyi. Kepalanya agak pening dan perutnya lapar. Perasaan Iva tidak enak. la sendiri di kamar, merasa sangat kesepian. Kalaulah Mama masih hidup, pasti Iva bisa membangunkan Mama dan minta dimasakkan mie instan. Tetapi Mama sudah meninggal 2 tahun yang lalu. Tepatnya ketika Iva duduk di kelas 3 SD. Sekarang Iva sudah kelas 5.
Dua bulan yang lalu Iva mendapat ibu baru, yang dipanggilnya Mami Ti. Sekarang Mami Ti dan Papa masih tidur. Tak mungkin Iva membangunkan Mami Ti. Waktu Mami Ti mau datang, Papa sudah berpesan agar Iva dan Eli bersikap baik dan jangan menyusahkan Mami Ti.
Iva masih berbaring. Kemudian berlutut dan berdoa. Sudah itu ia berbaring lagi. Adiknya Eli, juga masih nyenyak tidur di kamar sebelah. Sejak Mami Ti datang mereka mendapat kamar sendiri-sendiri. Dulu Eli dan Iva sekamar, sedangkan kamar satu lagi adalah kamar Mas Doni. Tapi dua bulan yang lalu ketika libur besar Mas Doni mulai tinggal di rumah Oma, ibu dari Mama. Kata ayah, SMP Negeri 15 lebih dekat jaraknya dari rumah Oma. Selain itu baik juga ada seorang laki-laki di rumah Oma, karena Oma tinggal berdua dengan Tante Susi.
Itu kata Papa. Tapi menurut Doni dia "disingkirkan" karena dia menentang Papa menikah dengan Mami Ti. Dia tak rela tempat Mama digantikan oleh Mami Ti. Tapi, ia senang tinggal di rumah Oma, walaupun ia sering rindu pada Iva dan Eli. Juga, di sana sepi karena tak ada adik seperti Iva dan Eli yang bisa diganggu.
Ketika Mama baru meninggal, Eli amat dekat dengan Iva. Ketika itu Eli baru duduk di TK C. Sekarang ia sudah kelas 2. Iva amat menyayanginya dan berusaha menyenangkan hati adiknya. Waktu itu juga ada Bu Amah, pembantu mereka yang sudah bekerja 10 tahun lamanya, sejak Mas Doni masih bayi. Sesudah Mama meninggal Bu Amah mengasuh mereka sebaik-baiknya. Mereka dibuatkan masakan dan kue kesukaan, dikerok kalau sakit, diingatkan belajar dan dibangunkan setiap pagi. Bahkan bila ulangan mereka dapat bagus, Bu Amah membelikan hadiah kecil.
Saat-saat yang berat sesudah Mama meninggal menjadi lebih ringan karena perhatian Bu Amah yang demikian besar.
Sekarang sejak Mami Ti datang, Bu Amah tidak bekerja lagi. Ada pembantu baru, Mbak Sumi, tapi ia jauh berbeda dengan Bu Amah, la hanya sekedar pembantu rumah tangga yang melakukan tugas yang dibebankan padanya.
Iva menghela napas. Mama tak ada, Mas Doni juga, Papa sibuk dengan pekerjaan dan Mami Ti. Dan Eli juga tak begitu dekat lagi dengan Iva. Eli malah lebih dekat dengan Mami Ti sekarang. Soalnya Mami Ti itu penjahit, dan Eli suka baju baru. Setiap hari Eli dan kawan-kawannya sibuk bermain boneka dan perca-perca kain. Setiap hari Mami Ti menyisirkan rambut Eli, kadang mengepang, menguncir dan memakaikan pita, jepitan atau bando. Pokoknya Eli yang kenes itu senang dan bangga punya mami baru. Sekarang Eli punya ibu seperti kawan-kawan yang lain.
"Mungkin lebih baik bila aku tinggal di rumah Oma bersama Mas Doni!" pikir Iva. Tapi, apakah Oma setuju dan Papa mengizinkan?
Kokok ayam terdengar bersahut-sahutan. Sudah terdengar kesibukan di dapur. Mami Ti dan Mbak Sum sudah bangun. Iva juga sudah bangun, mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Kepalanya masih pening. tapi Iva tak mau tinggal di rumah. Waktu Mami Ti baru datang, tiga hari Iva sakit. Papa memberinya obat. Esoknya Iva sembuh dan berkata, "Surat keterangan untuk Bu Guru, Pa!"
"Minta sama Mami!" begitu kata Papa. Lalu Iva menunggu Mami Ti membuat surat. Duh, lamanya sampai-sampai Iva terlambat ke sekolah. Kalau dulu Iva sakit, esok paginya Mama sudah siap dengan surat untuk Bu Guru.
Di meja makan Iva masih murung. Rasa laparnya mendadak lenyap ketika melihat hidangan sarapan pagi. Segelas susu, nasi dan telur tim. liihh, telur lunak seperti itu Iva tak pernah makan. Mama tidak pernah memasak telur tim. Apalagi di atasnya ada daun bawang. Dan Iva tak suka daun bawang.
Iva makan dua suap saja. Kepalanya tambah pening, susu pun hanya diminumnya sedikit. Papa membaca koran di beranda. Eli makan dengan lahap sambil terus berceloteh tentang baju baru pakai rompi yang akan dijahitkan Mami Ti.
"Makanmu sedikit sekali, Iva. Habiskan susumu!" kata Mami Ti.
"Sudah kenyang. Nanti saja sepulang sekolah!" kata Iva, lalu memasukkan gelas susu ke lemari es.
"Nanti sakit kalau sarapan pagi hanya sedikit!" kata Mami. Iva diam saja. Dalam hati Iva berkata, "Memang aku sedang sakit. Kamu saja tidak tahu." Dulu Mama selalu tahu kalau Iva sedang sakit. Kalau Iva murung pasti ditanya sebabnya.
Kata kawan-kawannya Iva sekarang kurus dan murung. Ya, habis bagaimana? Rasanya hidup Iva tidak enak sekarang. Banyak hal yang berubah. Sekarang tak ada lagi yang membuatkan tahu dan bumbu kacang tanah kesukaan Iva. Dan kadang-kadang masakan Mami Ti tidak Iva suka. Dan Iva pun tak bisa bicara dengan Mami Ti seperti dulu Iva cerita apa saja pada Mama. Mami Ti sering sibuk dengan tamu-tamu yang mengantar jahitan atau mengepas baju. Lagi pula entah mengapa Iva juga segan bercerita.
Minggu lalu mereka pergi ke pantai. Papa, Mami Ti, dan Eli berenang; sedangkan Iva duduk di tikar. Iva tidak bisa berenang dan tidak berminat. Papa dan Eli juga tidak bisa berenang, tapi mereka main air dengan gembira. Dan nanti setiap Minggu mereka akan belajar di kolam renang.
Dulu Mama suka bermain organ dan Iva menyanyi. Atau Iva yang bermain organ dan Mama yang menyanyi. Sekarang Iva bermain organ sendiri. Dan Iva malas menyanyi.
Akhirnya pagi itu Iva pergi ke sekolah. Hatinya amat gundah. Dalam mobil jemputan dia diam saja. Tak dihiraukannya anak-anak yang sibuk mengobrol. Iva baru ingat seharusnya dia minta izin pergi ke rumah Oma sepulang dari sekolah. Bercakap-cakap dengan Oma dan Doni mungkin menyenangkan. Di jalan kepalanya makin pening dan terasa berat. la ingin tidur. Dirabanya keningnya, panas. Mobil terus meluncur menuju ke sekolah.
Apa yang terjadi kemudian? Apakah Mami Ti itu ibu tiri yang baik? Apakah niat Iva untuk tinggal di rumah Oma terkabul?
Bersambung
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR