Dushan mengulurkan tangannya seperti meminta tolong dan meminta maaf pada para bidadari. Namun kini para bidadari sudah tidak memerhatikan dia lagi. Mereka sudah kembali menari dan menyanyi. Dushan mulai menangis. Tak ada yang bisa menolongnya untuk keluar dari kegelapan hutan itu.
Tiba tiba Dushan teringat akan biolanya. Maka ia mulai duduk tegak dan memainkan biolanya. Ia memainkan biola sambil membayangkan hutan yang gelap bercahayakan bulan. Dengan musik, ia bercerita tentang merdunya suara para bidadari. Ia lalu memainkan musik sedih yang menggambarkan kesedihan hatinya karena tak bisa melihat dan bicara.
Para bidadari tiba-tiba berhenti menari dan mendengarkan lagu Dushan. Ketika Dushan berhenti memainkan biolanya, para bidadari seketika pergi berpencar. Mereka mencari daun-daun obat untuk mematahkan sihir mereka sendiri.
Salah satu bidadari tampak mengusap ramuan daun di mata Dushan. Ada pula bidadari yang memberinya minum air ramuan. Dushan akhirnya bisa melihat dan bicara lagi.
Para bidadari lalu membawa Dushan ke tempat tinggal mereka. Dushan diangkat menjadi kakak lelaki mereka. Setiap hari, Dushan mengiringi mereka menari dan menyanyi dengan musik dari biolanya.
Beberapa waktu kemudian, Dushan kembali ke desanya. Kedua orangtuanya senang, karena Dushan sangat pandai bermain biola. Ia mengajari anak-anak desa bermain musik. Penduduk desa pun kagum akan keberanian Dushan masuk ke dalam hutan, dan bisa keluar lagi dengan selamat.
Dushan menyimpan rahasia tentang bidadari-bidadari hutan. Sesekali, ia kembali ke Hutan Perak dan memainkan biola untuk teman-teman bidadarinya.
(Dok. Majalah Bobo / Folklore)
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR