Nanang berseru nyaring, "Aku yang mentraktir mereka! Aku lagi banyak uang, nih, Tio!" Ketiga temannya itu berhenti di pintu pagar.
"Masuklah!" ajak Tio sambil tetap membilas piring serta perabot lain yang sudah disabuninya.
"Kamu sedang apa?" tanya Nanang dengan keras dari pagar.
"Cuci piring," sahut Tio ringan.
"Cuci piring?" dua orang temannya bertanya bersamaan dan mulai tertawa-tawa.
"Biasa. Ini tugasku," kata Tio.
Dia lalu mengulang ajakannya agar teman-temannya mampir. Ketiga-tiganya menolak. Sebelum pergi, Nanang berteriak, "Nanti sore ke warung pojok, ya! Giliranku traktir kamu!"
Wah, siapa bisa menolak ditraktir Nanang di warung pojok! Dengan bersemangat Tio berangkat ke sana sore harinya. Di situ telah berkumpul Nanang, Dodi, Heru, dan tiga orang teman lainnya. Semerbak harum nasi goreng menerpa hidung Tio waktu memasuki waning.
"Nasi goreng, Tio?"Nanang langsung menyambut.
"Nasi, sih, nggak," tolak Tio halu ssambil mencari tempat duduk, "Kolak saja, deh!"
"Tio minta kolak, Bik!" Nanang berseru kepada Bik Ami. Dialah pemilik warung pojok yang terkenal di lingkungan situ. Segenap makanan yang dijualnya mengundang selera. Sampai orang di kampong sebelah pun berlangganan ke situ.
"Habis makan Tio cuci piring sendiri, Bik," ujar Heru saat Bik Ami menghidangkan kolak hangat untuk Tio.
"Ngawur kamu!" tukas Bik Ami.
"Benar, Bik!" Dodi menyela."Tio biasa cuci piring di rumah."
"Cuci piring?" yang lain mulai bertanya-tanya. Sebentar saja warung menjadi ramai karena mereka mengolok-olok Tio. Apalagi Nanang menambah-nambahi menyebut Tio banci, mengerjakan tugas anak perempuan.
Walau kenyang, Tio pulang dengan hati mangkel.
Tio tak menduga soal cuci piring itu dibawa-bawa ke sekolah. Tadi di sekolah, teman-temannya terutama yang laki-laki banyak yang menertawainya. Sampai saat pulang sekolah tadi masih ada yang menguntitnya sambil cekikikan, 'Tio banci.Tio banci!"
Cuma Nanang yang tak ikut ikutan mengolok-oloknya seperti kemarin. Tampak Nanang menghindarinya sejak pagi.
Nanang bukanlah teman dekat Tio, walau Tio menyukainya.
Sepertinya Nanang tak membutuhkan teman dekat. Anaknya penuh gerak, sering keluyuran sendiri. Banyak kegiatan, banyak pengalaman. Di rumahnya Nanang memelihara ayam. Tempo hari dijualnya ayam-ayam yang sudah besar. Uang yang dipakainya mentraktir kemarin adalah uang hasil penjualan peliharaan yaitu, yang disisihkan sedikit seizin mamanya.
Tio ingin Nanang menjadi teman dekatnya. Tapi melihat kelakuan Nanang yang mudah mengolok-olok orang, ia jadi ragu-ragu.
Saat merenungkan teman nya itu, Tio mendengar pintu pagar dibuka.Tio tidak bisa melihat siapa yang datang. Tirai jendela yang dikaitkan Mama tadi telah dibukanya lagi. Ia tak ingin kelihatan teman yang sengaja mau memergokinya sedang mencuci piring. Itulah sebabnya jendela ia tutup terus yang membuat Mama kesal.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR