“Kenapa, sih, jendela kau tutup terus?" agak kesal Mama menyibak tirai jendela dapur kembali, lalu mengaitkannya dengan kawat kecil di pinggir jendela. Sementara Tio yang sedang mencuci piring tepat di depan jendela merengut. Apa mesti diceritakan ke Mama?
Kemarin sesiang itu ia mencuci piring seperti biasa. Memang tugasnya mencuci piring seusai makan siang. Sedangkan malam hari bagiannya Dini, kakaknya. Tio sengaja memilih membersihkan piring kotor itu siang hari agar malam harinya setelah makan malam ia bebas nonton televisi atau keluar sebentar bila diajak teman.
Selain itu mencuci piring pada siang hari tidak terasa berat, karena mata Tio dapat leluasa mengawasi gang di belakang rumah. Tak sedikit orang yang lalu lalang di situ. Tio tak segan-segan menyapa dari dapur bila orang-orang yang dikenalinya lewat. Biasanya yang disapanya pun membalas dengan tak kalah ramah.
"Oh, kamu! Kakakmu mana?" begitu seorang teman kakaknya membalas sapaannya.
Sambutan ramah kenalan mamanya lain lagi, "Aduh... Tio, siang-siang cuci piring! Rajin amat putra Bu Mira ini!"
Ada juga kenalan Mama yang ketika disapa, membuka sendiri pintu pagar belakang, lalu mencari Mama.
Belum pernah Tio memergoki temannya lewat ketika ia sedang mencuci piring. Bukan berarti tidak ada teman-temannya yang memakai jalan kecil itu. Setiap pulang sekolah Tio bersama teman-temannya yang rumahnya searah menuju rumah lewat gang. Jadi mereka sampai di rumah hampir bersamaan. Sehingga tak mungkin bagi Tio melihat teman sekolahnya melintas di depannya sesiang itu. Barangkali mereka sedang beristirahat atau mungkin malah sedang membantu ibu seperti dirinya.
Hanya pada hari-hari tertentu, ketika Tio sedang makan, dua tiga orang temannya melintas di belakang. Senda-gurau mereka terdengar sampai ke ruang makan. Mereka yang terlambat pulang itu tentu karena giliran piket di sekolah. Mereka juga terlambat nyata sampai saat ia mencuci piring.
Karena itulah kemarin siang ia heran melihat tiga orang teman sekolahnya, Heru, Dodi, dan Nanang, melintas. Mereka masih mengenakan seragam. Hampir satu jam mereka terlambat tiba di rumah. Tanpa berpikir panjang, Tio berteriak memanggil mereka, "Hoi, belum sampai di rumah tuh?!" serunya.
Ketiga temannya membalas sapaannya beramai-ramai.
"Mampir di kantin sekolah!" Heru menjelaskan.
"Menghabiskan nasi kuning bungkus Bu Kantin! Sedaaap!" Dodi menambahkan.
Nanang berseru nyaring, "Aku yang mentraktir mereka! Aku lagi banyak uang, nih, Tio!" Ketiga temannya itu berhenti di pintu pagar.
"Masuklah!" ajak Tio sambil tetap membilas piring serta perabot lain yang sudah disabuninya.
"Kamu sedang apa?" tanya Nanang dengan keras dari pagar.
"Cuci piring," sahut Tio ringan.
"Cuci piring?" dua orang temannya bertanya bersamaan dan mulai tertawa-tawa.
"Biasa. Ini tugasku," kata Tio.
Dia lalu mengulang ajakannya agar teman-temannya mampir. Ketiga-tiganya menolak. Sebelum pergi, Nanang berteriak, "Nanti sore ke warung pojok, ya! Giliranku traktir kamu!"
Wah, siapa bisa menolak ditraktir Nanang di warung pojok! Dengan bersemangat Tio berangkat ke sana sore harinya. Di situ telah berkumpul Nanang, Dodi, Heru, dan tiga orang teman lainnya. Semerbak harum nasi goreng menerpa hidung Tio waktu memasuki waning.
"Nasi goreng, Tio?"Nanang langsung menyambut.
"Nasi, sih, nggak," tolak Tio halu ssambil mencari tempat duduk, "Kolak saja, deh!"
"Tio minta kolak, Bik!" Nanang berseru kepada Bik Ami. Dialah pemilik warung pojok yang terkenal di lingkungan situ. Segenap makanan yang dijualnya mengundang selera. Sampai orang di kampong sebelah pun berlangganan ke situ.
"Habis makan Tio cuci piring sendiri, Bik," ujar Heru saat Bik Ami menghidangkan kolak hangat untuk Tio.
"Ngawur kamu!" tukas Bik Ami.
"Benar, Bik!" Dodi menyela."Tio biasa cuci piring di rumah."
"Cuci piring?" yang lain mulai bertanya-tanya. Sebentar saja warung menjadi ramai karena mereka mengolok-olok Tio. Apalagi Nanang menambah-nambahi menyebut Tio banci, mengerjakan tugas anak perempuan.
Walau kenyang, Tio pulang dengan hati mangkel.
Tio tak menduga soal cuci piring itu dibawa-bawa ke sekolah. Tadi di sekolah, teman-temannya terutama yang laki-laki banyak yang menertawainya. Sampai saat pulang sekolah tadi masih ada yang menguntitnya sambil cekikikan, 'Tio banci.Tio banci!"
Cuma Nanang yang tak ikut ikutan mengolok-oloknya seperti kemarin. Tampak Nanang menghindarinya sejak pagi.
Nanang bukanlah teman dekat Tio, walau Tio menyukainya.
Sepertinya Nanang tak membutuhkan teman dekat. Anaknya penuh gerak, sering keluyuran sendiri. Banyak kegiatan, banyak pengalaman. Di rumahnya Nanang memelihara ayam. Tempo hari dijualnya ayam-ayam yang sudah besar. Uang yang dipakainya mentraktir kemarin adalah uang hasil penjualan peliharaan yaitu, yang disisihkan sedikit seizin mamanya.
Tio ingin Nanang menjadi teman dekatnya. Tapi melihat kelakuan Nanang yang mudah mengolok-olok orang, ia jadi ragu-ragu.
Saat merenungkan teman nya itu, Tio mendengar pintu pagar dibuka.Tio tidak bisa melihat siapa yang datang. Tirai jendela yang dikaitkan Mama tadi telah dibukanya lagi. Ia tak ingin kelihatan teman yang sengaja mau memergokinya sedang mencuci piring. Itulah sebabnya jendela ia tutup terus yang membuat Mama kesal.
Terdengar seseorang memanggil namanya. Oh, Nanang! Cepat-cepat Tio mengelap tangannya dan bergegas menyongsong temannya di halaman.
"Cuci piring, ya?!" Nanang meringis.
"Sudah kubilang, itu tugasku!" ketus suara Tio.
"lya, ya!" Nanang menggumam.
"Maafkan aku mengata-ngataimu banci. Waktu Mama menyuruhku beli telur tadi pagi, aku jadi ingat kamu."
Tio diam saja.
"Aku tak pernah cuci piring di rumah tapi aku biasa bantu Mama mengerjakan yang lain," kata Nanang lagi. "Memakaikan baju ke adik bayiku atau belanja ke pasar untuk kekurangan isi dapur."
Tio jadi ingat sering dibonceng Nanang dengan sepeda ke pasar. Mereka sama-sama disuruh membeli kebutuhan dapur yang lupa dibeli ibu masing-masing. Atau, mereka berdua sering antre beli nasi goring untuk keluarga di warung pojok. Ah, menolong ibu seperti itu apa mesti dibilang banci?
Tio nyengir.
"Aku juga banci, ya! "Nanang terkekeh. "Aku bela kamu kalau besok teman-teman masih mengolok-olokmu."
"Tak apa-apalah," jawab Tio. "Mereka pasti sering membantu mama mereka, tapi tak sadar. Biar sajalah, Nang."
Setelah temannya itu pamit, Tio mendapati Mama berkacak pinggang di pintu dapur. "Kenapa jendela kau tutup lagi?!" suaranya lebih ketus dari tadi.
"Akan kukaitkan sekarang!" Tio menerobos masuk.
"Apa, sih, maumu?"
Tio tersenyum lebar. Masa perlu diceritakanke Mama?!
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Lena D.
Tomat-Tomat yang Sudah Dibeli Bobo dan Coreng Hilang! Simak Keseruannya di KiGaBo Episode 7
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR