“Ma, dapat rezeki, ya, mau traktir kita? Ma, aku minta paha ayam, ya!” kata Dudung tanpa malu-malu. Mama cuma tersenyum, lalu menitipkan sepeda pada Pak Kirman, pedagang pisang.
“Ya, tinggal saja sepedanya di sini. Asal ada ongkos titipnya!” gurau Pak Kirman. Ujang dan Dudung juga menitipkan kotak semir sepatu dan tamborin.
Lagi-lagi Sinta terperanjat. Ah, Mama tidak takut sepedanya hilang. Mama begitu percaya pada Ujang dan Dudung.
Mereka berempat jalan ke luar pasar. Ketika Mama dan Sinta masuk ke restoran, ternyata Dudung dan Ujang belum masuk. Mereka bertemu dengan dua kawannya. Entah pengemis atau pengamen, Sinta tidak tahu.
Mama memesan makanan dan ketika kedua anak laki-laki itu masuk, Mama memberi isyarat agar mereka duduk. Kemudian Mama dan Sinta mengantarkan nampan-nampan yang berisi ayam goreng, nasi dan minuman ringan pada Dudung dan Ujang.
“Kalian cuci tangan dulu di sana,” kata Mama. Orang-orang yang sedang makan memperhatikan Mama dan kedua anak laki-laki itu. Sinta merasa risih.
Sinta dan Mama kembali mengambil nampan untuk mereka sendiri. Dudung dan Ujang belum mulai makan, keduanya berbisik-bisik. Mama mendekati mereka.
“Ada apa?” tanya Mama.
“Ma, boleh tidak, satu nampan ini dibawa keluar untuk Oni dan Engkos? Nanti dikembalikan lagi. Aku dan Dudung paruhan saja! Kasihan Oni dan Engkos!” pinta Ujang.
Sinta terkesiap. Walaupun anak jalanan, ternyata Ujang punya rasa setia kawan yang besar. Ia dapat makanan enak, dan ia tidak tega menikmatinya sendiri sementara dua kawannya menonton dari balik kaca di luar.
“Ajak saja mereka ke dalam. Mama akan pesankan lagi!” kata Mama.
“Tapi … jadi menyusahkan Mama, dong. Mama, kan, mesti bayar lagi!” kata Dudung dengan wajah prihatin.
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR