“Oooh, uang Mama cukup, kok! Hari ini memang Tuhan kasih rezeki pada kalian!” kata Mama. Wajah Mama berseri-seri dan untuk pertama kalinya Sinta bisa melihat bahwa sebetulnya Mama cantik.
Dudung dan Ujang pergi ke depan. Mama memesan makanan lagi untuk Engkos dan Oni. Sinta bangkit untuk menolong Mama membawakan nampan. Hati Sinta terharu. Mama demikian baik.
Ketika membayar di kasir, kasir berkata, “Ibu baik sekali. Jarang orang seperti Ibu. Mau memperhatikan anak-anak jalanan!”
“Ah, hanya ini yang mampu saya lakukan!” kata Mama tersipu-sipu. Namun, dalam hati Sinta merasa bangga.
Kemudian mereka mulai makan. Keempat tamu makan dengan lahap. Setelah selesai, mereka mengucapkan terima kasih. Mama dan Sinta pulang naik bajaj. Ujang akan kembali ke pasar dan mengantarkan sepeda Mama. Ketiga anak lainnya mengemis dan mengamen di bus kota.
Sore hari, Sinta bercerita pada Papa tentang Mama.
“Sejak dulu memang mamamu dikenal berhati emas. Itulah sebabnya Papa menikah dengan Mama!” kata Papa dan ia menepuk-nepuk bahu Mama.
Sinta tersenyum. Rasa hangat mengalir di hatinya. Sekali lagi ia melihat Mama yang sedang tersenyum. Tampak cantik, walaupun tidak memakai lipstik dan berdandan modis. Mama Sinta yang berhati emas. Dan angan-angan Sinta ingin punya mama seperti mama orang lain terbang entah ke mana.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR