Perguruan Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara percaya, pendidikan dapat menjadi jalan untuk membuat bangsa lebih maju.
Akses pendidikan yang terbatas
Terbatasnya akses pendidikan bagi bangsa Indonesia pada masa kolonialisme Belanda menjadi salah satu alasan Ki Hajar mendirikan perguruan Taman Siswa. Sekolah-sekolah yang ada pada masa itu memang hanya berfokus pada kebutuhan Belanda akan tenaga kerja yang siap pakai. Apalagi, pendidikan masa itu hanya terbatas pada kaum bangsawan dan dengan sistem pendidikan yang bersifat regering, tucht, orde (perintah, hukuman, dan ketertiban). Beberapa pihak menganggap pendidikan menjadi bentuk penindasan terhadap kehidupan batin anak-anak.
Dari Yogyakarta ke berbagai daerah
Perguruan Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Perguruan ini kemudian berkembang luas tidak hanya di Jogja, tetapi juga di daerah lain di Pulau Jawa, bahkan diluar Pulau Jawa seperti Sumatra, Bali, Sulawesi, Kalimantan, dan Ambon.
Perguruan Taman Siswa berfokus untuk mengajarkan rasa kebangsaan dan rasa cinta tanah air. Bahkan sekolah ini dianggap menjadi ancaman karena dianggap menanamkan benih-benih perlawanan terhadap Belanda. Bahkan Belanda pernah membuat peraturan 1932 mengenai Ordonansi Sekolah Liar. Namun, tuntutan Ki Hajar Dewantara berhasil membuat peraturan itu dicabut.
Kongres Taman Siswa dan Patrap Triloka
Selain kegiatan belajar mengajar, Perguruan Taman Siswa juga mengadakan Kongres Taman Siswa di tahun 1946 yang merumuskan Panca Dharma Taman Siswa, yaitu asas kemerdekaan, asas kodrat alam, asas kebangsaan, asas kebudayaan, dan asas kemanusiaan.
Perguruan Taman Siswa memiliki pedoman bagi seorang guru yang disebut Patrap Triloka. Konsep yang sangat populer ini dikembangkan oleh Suwardi Suryaningrat (nama lain Ki Hajar Dewantara), yaitu
Patrap Triloka ini dibuat beliau setelah mempelajari sistem pendidikan progresif yang diperkenalkan oleh Maria Montessori dan Rabindranath Tagore. Patrap Triloka ini menjadi pedoman para guru hingga sekarang.
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR