"Sudah, tak usah banyak omong. Kamu juga tak ada gunanya. Tak bisa membantu apa-apa!" gerutu Pak Iwan. Ia sudah membuka kap mobil dan memeriksa mesin.
Untunglah keponakan Pak Iwan dan kawannya lewat dengan naik sepeda motor, la memperbaiki mobil Pak Iwan dan mobil itu bisa berjalan lagi.
"Untung ada anak muda yang pandai. Kalau tidak, lama-lama mogok di jalan, bisa diderek kita!" kata Pak Dipo.
"Ah, kalau tidak ada dia, aku pun sanggup memperbaikinya. Aku, kan, sarjana teknik! Aku, kan, bukan tamatan SMP!" sambut Pak Iwan dengan kesal.
Mobil terus berjalan. Wajah Pak Iwan masam dan Pak Dipo juga telinganya memerah mendengar soal pendidikan disebut-sebut.
"Walaupun aku tamatan SMP, belum tentu aku kalah cerdik. Hayo, kamu mau lomba apa?" tantang Pak Dipo.
"Nantilah, di gedung pertemuan kita bicarakan lagi. Percuma, di dalam mobil hanya ada kita berdua. Menang atau kalah tak ada saksinya!" Pak Iwan menanggapi tantangan itu.
Keduanya merasa lega. Pak Dipo mulai bersenandung lagu "Burung Kakaktua" dan Pak Iwan mengikuti. Mereka tampak bersemangat, sementara masing-masing berpikir lomba apa yang sebaiknya diadakan.
Di gedung pertemuan di lantai dua sudah ada sekitar sepuluh orang yang hadir. Kedua kakek itu bersalaman dengan yang hadir, lalu menceritakan peristiwa yang mereka alami tadi.
"Sebaiknya kami lomba apa, ya? Kalau gulat kasihan Pak Dipo. Dia pasti kalah!" gurau Pak Iwan.
"Eh, belum tentu. Dulu, kan, aku pernah belajar pencak silat!" jawab Pak Dipo sambil memperagakan gerakan memasang kuda-kuda.
Para hadirin tertawa, lalu Ibu Elvi mengusulkan, "Begini saja, Pak Iwan tuliskan 10 pertanyaan, dan Pak Dipo juga. Masing-masing harus menulis jawaban atas pertanyaan yang diajukan lawannya. Waktunya 15 menit! Nanti kami yang jadi jurinya!"
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR