Koko tidak memahami pikiran ayahnya. Setahu Koko, Ayah amat sayang pada Koko dan adiknya, Tika. Dan keuangan Ayah juga mencukupi. Ayah, kan, manajer! Ibu punya salon di samping rumah. Tapi, sudah tiga kali Koko minta hadiah. Dan ketiga permintaan itu ditolak.
Pertama, Koko minta sepeda warna biru. Saat itu, kedua sahabatnya, Soni dan Dimas, baru dibelikan sepeda oleh orang tua mereka.
“Nantilah, Ko. Lebih baik kamu konsentrasi menghadapi ujian!” kata Ayah.
“Justru sepeda itu akan sangat berguna untuk pergi ke rumah teman kalau mau belajar kelompok!” kilah Koko. Namun, Ayah tetap pada pendiriannya.Kemudian Koko minta radio tape.
“Aku, kan, bisa belajar bahasa Inggris melalui kaset!”
Ayah cuma mengangguk-angguk maklum dan tersenyum. “Bagus juga gagasanmu. Tapi, sekarang kan kamu perlu giat belajar untuk Ebtanas. Kamu perlu berjuang agar NEM-mu bagus!” begitu jawaban Ayah.
Belum putus asa, Koko mengajukan satu permintaan lagi.
“Yah, kali ini aku cuma minta akuarium kecil dengan beberapa ikan hias! Kalau sudah lelah belajar, aku bisa memandang ikan-ikan yang lucu dan indah!”
“Kalau ini memang pasti Ayah kabulkan. Tapi tidak sekarang. Nanti kalau kamu sudah lulus ujian!” kata Ayah.
Koko kesal. Aneh tapi nyata. Ayah sudah jadi kikir. Koko menceritakan hal ini pada adiknya.
Tika berkata, “Menurutku, Mas Koko ini yang aneh. Tidak ulang tahun, belum lulus ujian, kok minta dibelikan hadiah?”
Akhirnya Koko tidak mempersoalkan hal itu lagi. Cuma, ia menempelkan gambar sepeda warna biru, radio tape, sebuah akuarium dengan ikan hias di pintu kamarnya. Ketika melihat gambar-gambar itu, Ibu tertawa dan berkata, “Ini kampanye atau alat untuk mengingatkan ayahmu?”
“Terserahlah. Tidak dapat juga tidak apa-apa. Lihat gambar saja sudah puas, kok!” jawab Koko.
Hari demi hari berlalu. Koko sibuk sekolah dan belajar. Hari-hari ujian yang menegangkan pun berlalu.
“Sehari sesudah pengumuman ujian, akan ada acara tamasya ke pantai. Naik sepeda saja biar seru!” kata Dimas semangat.
”Kalau yang tidak punya sepeda bagaimana?” tanya Koko.
“Aah, itu mudah. Kamu bisa bonceng pada Soni atau aku!” jawab Dimas.
“Aku akan pinjam sepeda kakakku!” kata Lina.
“Kalian minta saja dibelikan sepeda. Ayahku akan memberikan diskon besar bila kalian membelinya di toko sepeda ayahku!” kata Herman.
Di rumah, Koko menuliskan kertas putih di bawah gambar sepeda di pintu kamarnya. BELI SEPEDA DI TOKO AYAH HERMAN, DISKONNYA BESAR.
Akhirnya tibalah hari yang dinantikan. Di sekolah anak-anak berkumpul di depan papan pengumuman.
“Selamat, Ko, kamu juara tiga!” kata Pak Guru.
Anak-anak juga menyalami Koko. Anita, juara pertama dan Rahadian, juara dua juga mendapat ucapan selamat. Koko segera menelepon Ibu, memberitakan kabar gembira itu. Sekaligus minta izin pergi ke pesta syukuran di rumah Herman. Di sana anak-anak akan membicarakan acara tamasya dengan sepeda besok.
“Kalau begitu, tunggu sebentar di sekolah sampai Ibu datang. Ayah dan Ibu punya hadiah untukmu!” pesan Ibu.
Maka Koko menunggu dengan harap-harap cemas. Apakah ia akan dibelikan sepeda? Atau radio tape? Atau akuarium seperti yang dijanjikan Ayah? Tak lama kemudian mobil Ibu tiba di depan gerbang sekolah. Ibu menyalami dan memeluk Koko.
“Ibu dan Ayah bangga karena kamu menjadi juara tiga!” kata Ibu, lalu menyerahkan sebuah bungkusan.
Breeet! Breeet! Koko segera membuka bungkusan itu. Ibu mengawasi sambil tersenyum. Namun, wajah Koko segera berubah saat melihat isinya. Buku pelajaran bahasa Inggris serta kaset di dalam kantung plastik.
“Terima kasih, Bu. Tolong bawa pulang saja. Koko mau ke rumah Herman!” kata Koko dengan kecewa.
“Tidak lihat dulu, Ko, isinya?” tanya Ibu. Koko menggeleng.
“Nanti malam saja akan Koko lihat buku itu!” kata Koko.
Ibu menggeleng-gelengkan kepala, masuk ke mobil dan pulang.
Di rumah Herman suasana sangat meriah. Ibu Herman sudah menyediakan berbagai hidangan. Koko memandang sepeda-sepeda yang berjejer di ruangan toko di depan rumah Herman. Oooh, walaupun sudah jadi juara III, ternyata memiliki sepeda warna biru masih merupakan impian.
Setelah makan, anak-anak bicara soal tamasya dengan sepeda. Beberapa anak dibelikan sepeda oleh orang tuanya di toko Herman. Koko diam saja. Aneh rasanya. Mereka yang tidak jadi juara dapat hadiah sepeda, sedangkan Koko hanya dapat buku pelajaran bahasa Inggris dengan kasetnya. Ayah Herman yang masuk ke ruangan itu, sekilas memperhatikan anak-anak itu.
“Ko, kenapa murung? Kamu, kan, jadi juara 3. Kalau kurang suka dengan sepeda warna biru yang dibelikan ayahmu, boleh tukar dengan warna lain. Boleh ganti model juga. Tinggal tambah uang sedikit, atau dikurangi sedikit!” kata ayah Herman. Koko tersentak bagaikan disambar petir. Ayahnya membelikan sepeda warna biru?
“Oooh, …eh…tidak, Pak. Terima kasih, aku suka sepeda warna biru!” jawab Koko.
“Kamu ini bagaimana, sih? Punya sepeda baru, kok, maunya dibonceng. Sayang, ya, sama sepeda barunya?” tegur Lina.
Koko menggeleng-gelengkan kepala. Ia langsung pamit untuk pulang.
Di dalam bajaj waktu terasa amat lambat berlalu. Ingin rasanya Koko bisa terbang ke rumah. Setiba di rumah, Koko melihat hadiahnya ada di meja tamu. Koko membuka plastik bungkusan dan mengeluarkan buku pelajaran bahasa Inggris dan kasetnya. Terselip di halaman buku itu tiga helai kwitansi pembelian sepeda, radio tape, dan akuarium.
Koko segera berlari ke salon di samping rumah.
“Ibuuu, terima kasih atas hadiahnya. Kok, banyak sekali?” Koko menghambur dan memeluk Ibu. “Ibu, maaf, ya, tadi sikap Koko tidak pantas!”
“Tiada maaf bagimu. Ha, ha, ha!” jawab Ibu sambil tertawa. “Semua hadiah ada di garasi! Kamu sudah bersusah payah untuk jadi juara, kan?”
Koko segera menelepon ayahnya dan mengucapkan terima kasih. Lalu menelepon Dimas dan Soni untuk memberitahukan berita gembira itu. Ow, indahnya hari itu!
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR