Mulanya jam 7 lewat, lampu di rumah kompleks BTN itu padam. Suasana menjadi gelap gulita. Dari rumah-rumah mulai muncul cahaya lilin atau lampu minyak tanah. Tapi cahaya itu tidak cukup untuk mengalahkan kegelapan. Apalagi lumayan banyak rumah yang tak berpenghuni yang tidak mampu menyinarkan cahaya apa pun.
Gawatnya, lilin di rumah Udin dan Umang cuma dua batang. Dan entah kapan lampu menyala. Untung Udin dan Umang sudah selesai belajar. Dalam kegelapan itu Uki, si bungsu yang baru berumur dua tahun merengek-rengek. la sudah mengantuk, kegelapan dan udara panas membuatnya tidak nyaman.
"Beli lilin saja, Pak!" kata Ibu pada Ayah.
"Kalian saja naik sepeda, boncengan, ya. Umang yang bawa senter, Udin yang mengendarai sepeda. Berani?" tanya Ayah.
"Berani saja!" jawab kedua anak laki-laki itu.
Udin mengeluarkan sepeda. Ayah mengantar sampai pintu gerbang.
"Warung sebelah timur atau barat?" tanya Udin.
"Mana sajalah, sesukamu!" jawab Ayah.
Maka Udin mengayuh sepeda ke arah timur. Dalam suasana gelap itu ternyata ada juga orang-orang yang keluar rumah. Agaknya tujuannya sama, yaitu membeli lilin. Udin sempat juga mendengar pembicaraan orang. Ada gardu listrik yang terbakar sehingga listrik padam. Katanya perbaikannya membutuhkan waktu tiga hari.
Sampai di warung itu ternyata semua kecewa. Persediaan lilin di warung itu ternyata habis. Terpaksa Umang dan Udin pergi ke warung di sebelah barat. Tetapi di sana juga habis.
Kedua anak itu kembali ke rumah. Uki sudah tertidur. Suasana rumah tenang. Ayah segera membuat pelita darurat. Cangkir diisi minyak kelapa dan diberi sumbu yang dimasukkan pada sekeping kaleng yang dilubangi.
"Lumayanlah, ada sedikit sinar!" kata Ayah.
Dalam kegelapan malam di tempat tidur Udin berpikir. Cukup banyak rumah di kompleks BTN ini dan cukup sering lampu mati. Juga kalau perbaikan listrik butuh waktu 3 hari, pastilah banyak lilin diperlukan seiama tak ada aliran listrik.
Tiba-tiba sebuah gagasan timbul di benak Udin. Lalu ia bangkit dan keluar kamar. Ibu dan Ayah masih bercakap-cakap di ruang tamu. Suasana gelap justru membuat Ibu santai. Biasanya kalau lampu menyala, ada saja yang dikerjakan Ibu.
"Bu, Pak, bagaimana kalau besok aku ambil tabungan Rp 20.000,00 dan kubelikan lilin di pasar besar. Pasti harganya lebih murah. Lalu kujual pada para tetangga!" kata Udin. "Satu pak dijual Rp 500,00. Mungkin aku bisa membelinya dengan harga Rp 400,00. Ada harapan laku. Katanya perbaikan listrik butuh waktu 3 hari," Udin mengemukakan gagasannya.
"Gagasan baik selalu boleh dicoba. Untuk permulaan kamu harus menawarkannya dari rumah ke rumah," nasihat Ayah. "Apa kamu tidak malu?"
"Oh, tidak. Namanya orang berdagang, kok, malu!" jawab Udin.
Esok harinya sepulang sekolah Udin membeli 40 pak lilin dengan harga Rp 400,00 per-pak. Namun, ketika ia tiba di rumah lampu sudah menyala.
Udin agak kecewa dan berkata, "Kok, petugas PLN kerjanya cepat benar, Bu. Kata orang butuh waktu tiga hari untuk memperbaikinya."
Ibu tertawa. "Mereka bekerja malam dan siang. Kita bersyukur lampu lekas menyala. Tak apa, simpan saja lilinmu. Suatu waktu pasti berguna," kata Ibu.
Namun, sore itu Udin berkeliling juga untuk menawarkan lilin. Orang-orang tak mau membeli, sebab merasa tidak memerlukan lilin, karena listrik sudah menyala.
Sampai satu minggu kemudian listrik tidak padam-padam. Udin makin kecewa. Rupanya ia salah perhitungan. Hari Minggu, pamannya yang memiliki toko datang. Udin bercerita tentang usahanya yang gagal.
"Jangan kecil hati. Suatu waktu lilinmu pasti laku. Pilihanmu untuk menyediakan lilin sudah tepat. Tapi kamu harus tabah dan sabar. Pedagang tak boleh lekas kecil hati. Mula-mula memang sulit, tapi nanti kalau sudah berhasil, akan kamu rasakan senangnya," nasihat Paman.
Hari-hari terus berlalu. Lilin masih bertumpuk di dus di sudut kamar Udin. Membisu, seolah-olah menyatakan bahwa mereka sabar menanti. Tiap kali Udin melihatnya, Udin ingat nasihat pamannya: "Jangan kecil hati. Suatu waktu lilinmu pasti laku."
Dua minggu setelah Udin membeli lilin, datanglah kesempatan yang ditunggu-tungu. Menjelang maghrib lampu padam. Dengan tangkas Udin mengeluarkan sepeda. Umang dibonceng di belakang sambil memeluk tas plastik. Tak lupa ia membawa senter.
Kali ini Udin berhasil. Banyak orang membeli lilin. Bahkan dalam waktu satu jam lebih 40 pak lilin itu habis terjual.
Mereka kembali ke rumah dengan gembira.
"Mana lilinnya? Ibu beli satu pak!" kata Ibu.
"Wah, sudah habis. Aku tidak ingat di rumah kita juga perlu lilin," jawab Udin.
"Tidak apa, lain kali tawarkan dulu pada Ibu sebelum pergi berjualan!" pesan Ayah. Semua tertawa.
Untunglah tak lama kemudian listrik menyala. Jadi dengan gembira Udin bisa menghitung uang hasil penjualannya dan berapa untungnya. Lalu mencatatnya di sebuah notes. Tak lupa diberikannya sebagian keuntungan pada adiknya, Umang.
"Besok kita jualan lilin lagi, Bang? Enak, laku banyak," kata Umang.
Udin tertawa dan berkata, "Tidak, Mang. Besok kakak beli lilin lagi untuk persediaan. Orang-orang yang mau beli bisa datang ke rumah kita. Nanti pada waktu lampu mati lagi baru kita keliling jualan lilin. Dan, kita harus ingat, kalau berjualan harus tawarkan pada Ibu dulu! Dan harus tinggalkan sebagian di rumah. Mungkin ada orang yang datang ke sini untuk beli lilin."
"Sekarang, aku mau mencatat nama-nama dan alamat mereka yang tadi membeli lilin. Kalau mati lampu lagi, mungkin kita akan jalan di kawasan lain di kompleks perumahan kita. Sebab mereka yang tadi beli mungkin masih punya persediaan. Habis tadi mati lampunya, kan, tidak lama!" sambung Udin.
"Wah, Udin sekarang sudah pandai berdagang. Sudah jadi usahawan cilik!" puji Ayah. "Tapi jangan lupa belajar, ya Din."
"Pasti, Yah. Walaupun berdagang, rangking di kelas tetap harus dikejar!" jawab Udin gembira.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR