Para makhluk itu tak bersuara dan membentuk barisan penyambutan tamu. Tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah makhluk hitam yang berkilat. Kepalanya tinggi sampai ke atap kuil. Jari-jarinya panjang dan kukunya tajam. Tubuhnya berkulit macan dan ekornya panjang sampai ke lantai. Dialah Raja Siluman.
Raja Siluman itu berdiri di depan ruangan. Yang lain berdiri dengan hormat menunggu perintah. Raja itu lalu berkata dengan suara dalam,
“Kita semua baru saja selesai berkeliling dunia, melaksanakan tugas kita masing-masing. Saya bahagia melihat kalian semua. Sebelum kita mulai bertugas lagi, saya akan bicara. Duduklah!”
Para siluman duduk di lantai dengan tenang. Hanya satu makhluk kurus berhidung panjang yang tetap berdiri di tengah ruangan.
“Kubilang duduk!” seru Raja marah. “Kenapa kamu berdiri?”
Siluman hidung panjang itu melihat ke sekeliling. “Aku tidak bisa duduk karena tak ada tempat lagi untukku!”
Sejenak semua terdiam, sampai terdengar si kepala ular berteriak sambil mendesis, ”Ssshhh… ada manusia di sini. Dia bukan anggota kita!”
Semua siluman melihat ke sekeliing aula. Akhirnya mereka melihat Denkai yang meringkuk di pojok, gemetar ketakutan. Semua menatapnya dengan mata melotot. Raja Siluman lalu berkata dengan suara berat,
“Kalau tak ada tempat, aku akan memberikan tempat untukmu, Hidung Panjang!” Raja lalu mengangkat tangannya yang mengerikan, mengulurkannya ke arah Denkai. Pendeta muda itu semakin meringkuk ketakutan, tetapi tak ada gunanya. Jari-jari dengan kuku panjang itu lalu menarik kerah baju Denkai, mengangkatnya ke udara, lalu melempar Denkai lewat jendela.
Denkai melayang melewati gerbang kuil, dan akhirnya jatuh. BRUK! Denkai berusaha menahan tubuhnya di tangga batu. Tubuhnya tak bisa bergerak. Ia hanya terdiam. Setelah itu, tampak ada cahaya-cahaya yang melesat keluar dari kuil. Setelah itu, tak ada apapun yang terjadi. Denkai kehabisan tenaga dan jatuh tertidur.
Saat ia bangun paginya, matahari sudah bersinar terang. Ia teringat kejadian tadi malam. Denkai merasa itu cuma mimpi dan ia ingin melanjutkan perjalanannya. Akan tetapi, ia sangat terkejut ketika melihat sekelilingnya. Ternyata, ia tidak duduk di gerbang kuil. Kuil itu telah menghilang. Ia bahkan tidak berada di lembah.
Denkai mengusap matanya. Ia betul-betul tidak tahu berada di daerah mana. Ia duduk di dataran pantai yang rata sekali. Di kejauhan hanya terlihat kabut dan gunung tinggi. Di sisinya, tampak lautan tak berujung.
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR