Yu Narmi dan Yu Ginem bertetangga. Masing-masing tinggal di rumah petak di perkampungan kumuh. Keduanya adalah pedagang pecel keliling. Dagangan Yu Ginem lebih laku. Entah karena lebih lezat atau karena orangnya lebih ramah atau rezekinya lebih murah.
Sering bila petang hari Yu Ginem sudah beristirahat sambil mengobrol dengan tetangga, Yu Narmi baru pulang. Bahkan kadang-kadang sampai petang pun dagangan Yu Narmi belum habis. Padahal Yu Ginem dan Yu Narmi membuat pecel dalam jumlah yang sama.
Maka suatu hari Yu Narmi mengajukan usul, "Bagaimana kalau kita bagi wilayah? Yu Ginem berjualan ke sebelah kiri dan aku ke sebelah kanan. Batasnya warung Pak Somad. Jadi kita tak bersaing!"
"Oh, boleh saja. Jadi kita juga hemat tenaga. Tak usah berkeliling terlalu jauh. Kalau misalnya belum habis, aku bisa menjajakan ke kampung di seberang kali dan kamu bisa ke kampung seberang rel kereta," kata Yu Ginem.
Setelah seminggu mengadakan pembagian wilayah, ternyata hasilnya jusa sama. Dagangan Yu Gunem lebih lekas laku.
"Bagaimana kalau kita tukar wilayah? Yu Ginem berjualan di daerah sebelah kanan dari rumah kita dan saya ke sebelah kiri?" usul Yu Narmi.
"Oh, boleh. Aku juga sudah rindu, kok, pada langganan-langganan di daerah sebelah kanan rumah kita," jawab Yu Ginem.
Setelah seminggu berlangsung, ternyata hasilnya tetap sama. Dagangan Yu Ginem tetap lebih laris. Maka Yu Narmi berpikir, "Aku kalah terus. Harus ada cara untuk menjatuhkan Yu Ginem. Heran, orang buta huruf, kok, dagangannya bisa laris. Aku yang tamat SD saja kalah."
Yu Narmi berpikir-pikir dan akhirnya suatu hari ia mendapat akal. Suatu sore ia membawa benda seperti panci, bertutup dan bergagang satu dan bertamu ke rumah Yu Ginem.
"Yu Ginem, di pasar sedang ada obral panci. Murah, Cuma seribu rupiah. Jadi aku belikan satu untuk Yu Ginem. Untuk bumbu pecel, kan, bagus!" kata Yu Narmi sambil memberikan benda berwarna putih itu.
"Terima kasih, kok, repot-repot. Sebetulnya tempat bumbu pecel saya masih bisa dipakai, kok, walau sudah jelek!" kata Yu Ginem.
Setelah itu Yu Narmi pulang. Yu Ginem meletakkan panci putih itu di meja. Tak lama kemudian datang keponakan Yu Ginem, yaitu Tati, siswi Akademi Perawat.
"Yu, pispot, kok, ditaruh di meja? Ini, kan, bukan tempatnya. Lagi pula siapa yang sakit? Kok, beli pispot segala?" tanya Tati.
"Apa, toh, maksudmu. Itu, kan, panci hadiah dari Yu Narmi, tukang pecel tetangga itu. Katanya untuk bumbu pecel," Yu Ginem menjelaskan.
"Wah, orang itu bermaksud jahat atau memang tak mengerti kegunaan benda ini. Pispot ini biasanya digunakan orang sakit yang tidak bisa ke kamar kecil sendiri!" Tati menjelaskan.
Setelah mengerti, Yu Ginem berkata, "Untung kamu datang, Ti. Tuhan masih menolongku. Kalau tidak, bisa habis semua langgananku. Tak ada lagi yang mau beli pecel padaku. Sebetulnya aku mau marah pada Yu Narmi. Tapi, kita, kan, tak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan."
Kemudian sore itu, Yu Ginem pergi ke rumah kenalannya, seorang nenek di ujung jalan. Nenek itu sakit lumpuh. Pispot itu sangat berguna bagi si Nenek. Saat itu, anak si Nenek, Pak Mus, pulang dari bekerja. Pak Mus bekerja sebagai satpam di pabrik pakaian. Setelah bercakap-cakap beberapa saat, Pak Mus berkata, "Kebetulan Yu Ginem datang ke sini. Sekarang di pabrik banyak pekerjaan, banyak tambah pegawai. Kalau pagi hari, tukang makanan diserbu buruh pabrik. Kalau Yu Ginem mau, boleh berjualan nasi bungkus pada pagi hari!"
Yu Ginem mengucapkan terima kasih. la berkata ia senang jualan pecel. Namun ia akan minta tetangganya, Bu Asni, untuk memasak nasi bungkus. Kemudian Yu Ginem akan menjualkannya ke pabrik. Sepulang dari berjualan di pabrik, baru ia akan jualan pecel. Dengan demikian, Yu Ginem dapat tambahan penghasilan dan demikian juga tetangganya.
Yu Ginem lalu mengajak tetangganya, Bu Asni, untuk berunding di rumahnya. Bu Asni gembira dan setuju untuk memasak nasi bungkus. Pada saat mereka sedang bercakap, Yu Narmi datang.
"Bagaimana Yu Ginem? Sudah dipakai panci yang saya berikan?" tanya Yu Narmi. "Cocok untuk bumbu pecel, ya."
"Sudah, Yu. Terima kasih, ya. Pispot itu sudah dipakai oleh ibunya Mus yang sakit. la sangat senang," Lalu Yu Ginem menceritakan rencananya berjualan nasi di muka pabrik.
Yu Narmi sangat terkejut. Tak disangkanya Yu Ginem yang bodoh itu tahu manfaat benda yang diberikannya.
Bu Asni memandang tajam pada Yu Narmi dan berkata, "Kamu, kok, tega pakai akal busuk untuk menjatuhkan tetangga. Masing-masing orang kan ada rezekinya. Masing-masing mau mencari nafkah!"
Yu Narmi pulang ke rumah. Perasaannya tidak enak.
Bu Asni menceritakan peristiwa itu pada tetangga-tetangga. Mereka menyindir Yu Narmi dan tidak mau berkawan dengannya dan juga tidak mau membeli pecelnya. Dua hari kemudian, Yu Narmi terpaksa menyingkir dari perkampungan sederhana itu.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.
Terbit Hari Ini, Mengenal Dongeng Seru dari Nusantara di Majalah Bobo Edisi 35, yuk!
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR