Adit termenung memikirkan kata-kata yang baru saja disampaikan Pak Anton. Pahlawan idola? Siapa, ya, pahlawan idolaku? Adit mengacungkan jarinya.
"Pak Anton... saya mau tanya. Kalau idola saya Tarzan, apa saya juga harus bercerita sambii memakai kostum Tarzan di depan kelas?"
Tentu saja teman-temannya tertawa mendengar pertanyaan nakal Adit.
Pak Anton yang berkumis tipis dengan tahi lalat di pelipis kanannya itu membetulkan letak kacamatanya. Ia ikut tertawa.
"Ah, kamu ada-ada saja, Dit. Tapi, boleh juga idemu itu."
Rupanya pembicaraan tentang pahlawan idola terus berlanjut hingga sore hari ketika anak-anak berkumpul di lapangan sepak bola.
"Aku mau pakai kostum Zorro," kata Bayu sambil meneguk minumannya. "Kostum Zorro kan tinggal pakai topeng, topi, dan pedang, pasti asyik!"
Rudi menimpali. "Kalau aku ingin pakai kostum Robin Hood. Dia, kan, pahlawan pembela kaum miskin."
"Kamu mau pakai kostum apa, Dit?" tanya Romi.
Adit kelihatan bingung. "Aduh, apa, ya? Belum terpikir, nih!"
"Pakai kostum kodok saja!" usul Bambang asal-asalan. "Kamu kan bisa mengidolakan Pangeran Kodok, Dit. Siapa tahu bisa menjelma jadi pangeran tampan dan rupawan." Teman-temannya tertawa.
****
Hari-hari berlalu dengan cepat, tapi Adit belum dapat ide juga tentang pahlawan idolanya. Adit berpikir keras sambil membuka buku-buku pelajaran di hadapannya. Tapi, hingga setumpuk buku dibukanya, ia belum juga mendapat ide. Akhirnya ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Tiba-tiba dilihatnya foto-foto pahlawan nasional yang tertempel di tembok. Secercah senyum tercipta di wajahnya. Senyumnya semakin lebar setelah ia menemukan selendang putih.
"Akhirnya semua beres. Aku mau jadi Pangeran Diponegoro," pikir Adit.
Tahu-tahu telepon di ruang tengah berdering.
"Dit, aku tadi baru belajar sejarah. Tiba-tiba terpikir olehku untuk pakai kostum Pangeran Diponegoro," terdengar suara Romi dari seberang telepon.
"Yaaahhh..." Adit kecewa. Dia kembali bingung. "Jadi, aku pakai apa, dong?"
Dengan gelisah Adit membolakbalikkan badannya di atas tempat tidur. Hampir jam dua belas, tapi matanya belum bisa terpejam. Terbayang di otaknya Pak Anton yang akan menghukumnya kalau ia tidak pakai kostum apapun.
Tiba-tiba Adit tersenyum misterius. "Hmmm...lihat saja nanti," gumamnya.
Pagi itu Adit tidak sabar menunggu gilirannya untuk maju ke depan kelas. Ia sudah menyiapkan segala perlengkapan yang diperlukannya.
Satu per satu anak-anak memamerkan kostum mereka. Bayu tampil gagah dengan kostum Zorro lengkap dengan pedangnya. Anak-anak pun bersorak gembira ketika Rudi yang mengenakan kostum Robin Hood membagi-bagikan koin seratus rupiah.
"Lumayan, bisa dapat permen!" teriak Adit.
Tapi, Adit agak cemberut juga ketika melihat Romi dengan sorban di kepalanya dan bergaya seperti Pangeran Diponegoro.
"Baik, sekarang terakhir giliran Adit. Ayo, Dit, silakan maju!" panggil Pak Anton.
"Tunggu sebentar, Pak!" Adit pun mulai mengeluarkan perlengkapannya. Baju batik, kumis palsu, kacamata, spidol, cermin kecil, dan sebatang tongkat. Sambil menunduk di tempat duduknya, Adit mulai bercermin dan berdandan.
"Hei, Dit, jangan kelamaan dandan, dong! Kayak anak perempuan saja!" seru Rudi disambut tawa temantemannya.
Adit tidak peduli dan mulai menempelkan kumis palsu tipis di atas bibirnya, lalu memakai kacamata. Tak lupa pula dia menggambar titik di pelipis kanannya dengan spidol hitam. Anak-anak tak sabar melihat ulah Adit.
"Dit, kamu mau jadi apa, sih?" tanya Romi penasaran. Anak-anak mulai ribut menebak-nebak pahlawan idola yang akan diceritakan Adit.
Tiba-tiba anak-anak menjadi ribut ketika Adit memakai baju batik yang sama persis dengan yang dipakai Pak Anton, hanya ukurannya yang lebih kecil.
"Pak Anton kecil! Pak Anton kecil!" seru Rudi. Anak-anak tersenyum geli melihat gaya Adit.
Dengan bangga sambil memamerkan senyum nakalnya, Adit pun maju ke depan kelas. Sambil memegang tongkat, Adit berjalan mondar-mandir di depan kelas meniru gaya Pak Anton dan memulai ceritanya.
"Anak-anak, kalian sudah bercerita dengan bagus tentang pahlawan idola kalian yang hebat. Tapi pahlawan idola saya pun tak kalah hebatnya. Pahlawan idola saya adalah Pak Anton. Berkat Pak Anton, kita jadi pandai Bahasa Indonesia. Jadi, anak-anak, kita harus berterima kasih pada Pak Anton."
Anak-anak terpingkal-pingkal melihat Adit yang meniru Pak Anton.
Pak Anton ikut tertawa sambil berkomentar, "Wah, jadi sekarang ada dua Pak Anton yang akan mengajar bahasa Indonesia di kelas ini."
Tawa anak-anak pun semakin riuh.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Veronica Widyastuti
Penglihatan Mulai Buram? Ini 3 Hal yang Bisa Jadi Penyebab Mata Minus pada Anak-Anak
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR