Rudi memasuki rumah tua yang dipenuhi kardus-kardus itu. Rumah itu sering didatanginya pada saat liburan. Kali ini, rumah tua itu akan menjadi tempat tinggalnya. Ya, Rudi dan keluarganya akan pindah ke rumah ini.
“Letakkan di kamar kedua di sebelah kanan, ya,” terdengar suara Bu Dini, ibu Rudi.
Bu Dini memberikan petunjuk kepada para petugas pengangkut barang. Tangannya menunjuk-nunjuk untuk memperjelas perintahnya.
“Rudi dan Runi, kalian bisa pilih kamar kalian sendiri,” terdengar suara Pak Heru, ayah Rudi.
“Horeeeee!” sorak Rudi dan Runi serempak.
Selama ini Rudi selalu sekamar dengan Runi, kakak perempuannya itu. Apartemen tempat tinggal mereka sebelumnya hanya memiliki 2 kamar. Satu kamar untuk orang tua, satu kamar lagi untuk anak-anak. Kamar anak-anak yang ditempati Rudi dan Runi dipisahkan oleh 2 meja belajar dan lemari pakaian.
“Aku pilih kamar yang menghadap kebun buah,” teriak Runi dengan lantang.
Runi sengaja memilih kamar yang menghadap kebun buah. Runi sangat suka makan buah. Hmmm… Sebenarnya, Runi suka semua jenis makanan. Di halaman samping rumah ini, ada pohon rambutan, mangga, jambu, jeruk, manggis, dan sawo.
“Aku pilih kamar yang dekat perpustakaan,” gumam Rudi sambil berjalan pelan menuju kamar pilihannya.
Rudi sangat suka membaca. Ruang perpustakaan adalah ruangan favoritnya di rumah tua ini. Rumah tua berlantai 2 ini sangat besar. Ada 17 kamar di rumah ini. Di tempat inilah tinggal seorang pria tua bertubuh kurus yang dikenal sebagai Datuk. Datuk adalah kakek Bu Dini, ibu Rudi dan Runi. Umurnya sudah mendekati 90 tahun. Dialah yang menempati kamar paling depan di rumah besar itu. Selain kamar paling depan, semua tamu yang datang menginap boleh memilih 16 kamar lainnya. Walaupun sudah tua, Datuk masih sehat. Dia suka berjalan-jalan mengelilingi rumahnya yang besar.
Sebelum keluarga Pak Heru pindah ke rumah ini, Datuk ditemani oleh Bapak dan Ibu Marno, sepasang suami istri. Mereka lebih akrab disapa dengan nama Pak No dan Bu No. Pak No membantu membersihkan rumah dan merawat tanaman. Bu No membantu memasak dan mengurus pakaian. Sebulan yang lalu, Pak No pindah ke rumahnya sendiri. Rumah mungil Pak No letaknya tidak jauh dari rumah Datuk. Setiap hari, Pak No dan Bu No datang untuk membantu di rumah Datuk.
Walaupun Pak No dan Bu No datang setiap hari, Bu Dini tetap khawatir pada kesehatan kakeknya yang sudah tua itu. Bu Dini ingin mengajak kakeknya tinggal bersama. Mereka harus memilih, mengajak Datuk tinggal di apartemen mereka, atau mereka yang tinggal di rumah Datuk. Akhirnya Bu Dini mengajak keluarganya pindah ke rumah tua itu karena apartemen mereka terlalu sempit.
“Cukup untuk hari ini. Kita lanjutkan besok, ya,” seru Bu Dini.
Tak terasa, malam pun tiba. Rudi yang kelelahan segera menuju kamarnya. Dia membaringkan diri di tempat tidur. Tak lama kemudian, Rudi dikagetkan oleh jeritan kakaknya.
“Aaaaa! Ada orang di luar jendelakuuuu!” jerit Runi.
Rudi segera berlari menuju kamar kakaknya. Di lorong, ia bertemu dengan ayah ibunya. Mereka semua terbirit-birit berlari menuju kamar baru Runi.
“Ada orang berambut panjang di luar. Hiiii…. Aku takut. Jangan-jangan itu hantu,” kata Runi sambil memeluk bantal.
Bu Dini memeluk anaknya yang gemetar ketakutan itu. Runi menangis tersedu-sedu dalam pelukan ibunya. Pak Heru segera keluar membawa senter. Rudi melihat ke jendela di kamar kakaknya. Jendela itu terbuka. Tirainya sedikit bergoyang tertiup angin.
“Huhuhu… Aku mau pindah kamar aja,” kata Runi di sela isak tangisnya.
“Sudahlah, Nak. Jangan menangis lagi, ya. Mungkin kamu melihat bayangan tirai,” hibur Bu Dini.
Tangis Runi malah terdengar makin keras. Makin banyak yang memberi perhatian, makin kencang tangisannya. Kalau sudah seperti ini, Rudi diam saja. Dulu, dia pernah mengatai kakaknya ini “anak cengeng”. Jadinya Runi malah menangis sepanjang malam. Padahal mereka menempati kamar yang sama. Rudi pun menyesal dan berjanji dalam hati tidak akan mengatai kakaknya saat sedang menangis.
“Runi, Ayah sudah temukan hantu berambut panjangnya. Sini, kenalan dulu,” kata Pak Heru dari balik tirai jendela. Pak Heru memang sering menggoda anaknya yang penakut itu.
“Huaaaaa!” jerit Runi makin menjadi-jadi.
“Runi, ini Bu No. Maaf, ya, kalau kamu jadi takut. Tadi Ibu melihat jendela ini terbuka dan lampunya menyala. Ibu cuma mau melihat ada siapa di dalamnya,” kata Bu No.
“Ha ha ha,” tawa Rudi. Suara tawanya yang semula ditahan itu lama-lama semakin keras. Tak lama kemudian, seisi ruangan itu sudah dipenuhi dengan tawa. Semua orang tertawa, termasuk Runi. Ternyata yang dia kira hantu adalah Bu No.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Sylvana Hamaring Toemon
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sigit Wahyu |
KOMENTAR