“Kemarin aku hitung, cuma dua ratus ribu lima puluh tujuh lima ratus, Pak,” jawabku.
“Wah! Nah tu anak kau rajin menabung,” kata bapak Abi.
“Kau kemas-kemas dari sekarang lah Ta. Lusa ikut aku dan Abi berangkat ke kota. Kau daftar sekolah disana saja,” kata bapak Abi.
“Yang benar?” tanyaku.
Yaaaay aku pun melompat kegirangan. Aku senang sekali bisa melanjutkan sekolah. Aku merasa cita-citaku menjadi masinis sudah di depan mata walaupun aku baru mau masuk SMP.
Malam itu, aku bersemangat berkemas-kemas. Memasukkan baju-bajuku ke ransel. Namun, ada suara tangisan dari ruang tengah.
“Ya, sudahlah Sri. Anak kita, kan, mau sekolah tinggi,” kata Bapak.
“Aku tak berani melepas dia sendiri,” jawab Ibu.
“Tidak sendiri. Dia bersama Abi dan bapaknya,” jawab Bapak.
“Kenapa Bapak berubah pikiran? Dulu Bapak tak izinkan Uta sekolah,” tanya Ibu sambil menangis.
“Bukan tak izinkan. Aku ingin Uta sekolah, tapi tak ada biaya. Nah, sekarang ada yang mau membiayai, kenapa tidak. Aku juga tak mau anakku jadi buruh cuci kapal seperti aku. Kau mau Sri? Pastilah tidak” jawab Bapak.
Percakapn itu membuatku menangis. Ternyata Ibu tak rela melepasku bersekolah. Aku pun keluar kamar.
“Bu, tak apa kalau aku tak boleh pergi. Lagi pula, aku sekolah tinggi supaya Ibu bisa bahagia. Kalau Ibu tak bahagia, ya percuma saja,” kataku.
Ibu dan bapak langsung memelukku. Mereka menangis, aku pun tak sadar juga ikut menangis.
“Uta boleh pergi. Ibu bahagia Uta bisa sekolah. Tapi janji ya, Uta pulang nanti. Jangan jadi Malin Kundang. Masih ingat kau cerita Ibu?”
Aku pun mengangguk. “Tak akan aku jadi Malin, Bu. Aku sayang Ibu dan Bapak,” kataku.
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR