Sebentar lagi aku lulus SD. Teman-teman sudah merencanakan untuk lanjut ke sekolah. Tidak semua ingin ke SMP, ada juga yang akan masuk pesantren dan ada juga yang ingin membantu bapaknya melaut. Kalau aku, sebenarnya aku ingin melanjutkan sekolah, tetapi Bapak menyuruhku membantunya di laut.
“Bapak bukannya tidak berusaha. Kamu lihat kan, siang malam Bapak bekerja,” kata Bapak sambil menggosok kapal.
“Iya Pak, Uta tahu,” jawabku.
Benar juga. Bapak dan Ibu sudah bekerja siang malam di laut, tetapi memang pendapatannya tidak cukup untuk membiayaiku sekolah. Apalagi kalau mau ke SMP, aku harus melewati perjalanan yang cukup jauh. Artinya, itu butuh biaya lagi setiap harinya. Namun … aku ingin sekolah.
“Jadi gimana Ta, kamu mau daftar atau tidak?” tanya Pak Rafif kepadaku.
“Sayang sekali kalau kamu tidak lanjut sekolah,” tambah Pak Rafif lagi.
Sampai di rumah, aku melihat ke arah celengan berbentuk ayam. Berapapun isi recehan di dalamnya, pasti belum cukup untuk biaya sekolah. Untuk membeli seragam saja tidak cukup.
“Uta, Uta,” tiba-tiba ada suara memanggil dari luar. Aku pun keluar. Terdengar seperti suara Abizar.
“Abi…. kau sudah pulang,” tanyaku pada Abi. Ia adalah teman kecilku yang pindah ke kota setahun yang lalu. Kata bapaknya, di kota ada sekolah yang bagus. Jadi, Bapaknya juga pindah bekerja ke kota untuk menemani Abi.
“Aku sedang liburan. Ayo Ta, ikut ke rumah! Aku bawa sesuatu untukmu,” kata Abi penuh semangat.
Aku pun berjalan bersama Abi menuju rumahnya. Lama sekali aku tidak bertemu Abi. Pasti ada banyak cerita dari kota untukku.
“Ah, Uta! Apa kabar? Kau sudah tambah besar ya,” sapa bapak Abi dengan ramah.
“Baik Pak. Iya harus besar,” jawabku.
“Jangan badan saja yang besar ya. Cita-cita juga harus besar,” jawab bapak Abi sambil tertawa.
Cita-cita?
Dulu saat di kelas dan ditanya Pak Rafif, aku bilang kalau aku ingin menjadi masinis. Pertama, karena aku tak pernah lihat kereta api. Kedua, karena masinis pasti keren. Namun, apa ada masinis yang lulusan SD? Pasti tidak ada.
“Bagaimana Uta? Mau sekolah dimana kau?” tanya bapak Abi membuyarkan lamunanku.
“Belum tahu, Pak. Kata bapakku, diminta bantu Bapak saja di laut,” jawabku dengan lancar.
“Wah janganlah, Ta! Otak kau nanti tak berkembang,” kata bapak Abi.
Aku hanya tersenyum tak menjawab. Bapak Abi pun tak melanjutkan percakapan ini lagi. Aku rasa ia mengerti masalahku.
Malam harinya, tiba-tiba aku lihat bapak Abi sudah bercakap-cakap dengan Bapak di atas perahu. Percakapan itu sepertinya serius dan membuatku takut mengganggu.
“Apa yang mereka bicarakan ya? Mungkinkah tentang sekolahku?” tanyaku di depan pintu.
“Uta! Kau disana rupanya. Ayo, kemari!” tiba-tiba bapak Abi memanggilku.
Aku pun menghampirinya. Jantungku berdegup kencang. Ada apa ya ini?
“Berapa kau punya tabungan, Ta?” tanya Bapak tiba-tiba.
“Kemarin aku hitung, cuma dua ratus ribu lima puluh tujuh lima ratus, Pak,” jawabku.
“Wah! Nah tu anak kau rajin menabung,” kata bapak Abi.
“Kau kemas-kemas dari sekarang lah Ta. Lusa ikut aku dan Abi berangkat ke kota. Kau daftar sekolah disana saja,” kata bapak Abi.
“Yang benar?” tanyaku.
Yaaaay aku pun melompat kegirangan. Aku senang sekali bisa melanjutkan sekolah. Aku merasa cita-citaku menjadi masinis sudah di depan mata walaupun aku baru mau masuk SMP.
Malam itu, aku bersemangat berkemas-kemas. Memasukkan baju-bajuku ke ransel. Namun, ada suara tangisan dari ruang tengah.
“Ya, sudahlah Sri. Anak kita, kan, mau sekolah tinggi,” kata Bapak.
“Aku tak berani melepas dia sendiri,” jawab Ibu.
“Tidak sendiri. Dia bersama Abi dan bapaknya,” jawab Bapak.
“Kenapa Bapak berubah pikiran? Dulu Bapak tak izinkan Uta sekolah,” tanya Ibu sambil menangis.
“Bukan tak izinkan. Aku ingin Uta sekolah, tapi tak ada biaya. Nah, sekarang ada yang mau membiayai, kenapa tidak. Aku juga tak mau anakku jadi buruh cuci kapal seperti aku. Kau mau Sri? Pastilah tidak” jawab Bapak.
Percakapn itu membuatku menangis. Ternyata Ibu tak rela melepasku bersekolah. Aku pun keluar kamar.
“Bu, tak apa kalau aku tak boleh pergi. Lagi pula, aku sekolah tinggi supaya Ibu bisa bahagia. Kalau Ibu tak bahagia, ya percuma saja,” kataku.
Ibu dan bapak langsung memelukku. Mereka menangis, aku pun tak sadar juga ikut menangis.
“Uta boleh pergi. Ibu bahagia Uta bisa sekolah. Tapi janji ya, Uta pulang nanti. Jangan jadi Malin Kundang. Masih ingat kau cerita Ibu?”
Aku pun mengangguk. “Tak akan aku jadi Malin, Bu. Aku sayang Ibu dan Bapak,” kataku.
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR