Ini adalah hari yang menegangkan untuk Mbok Ratih. Mbok Ratih adalah kakak pertama Mila. Kalau di Bali, kakak perempuan dipanggil dengan sebutan Mbok. Berbeda dengan di Jawa yang panggilan mbok itu berarti ibu.
Sejak pukul empat pagi, Mbok Ratih tampak cemas, sibuk keluar masuk kamarnya. Ibu pun juga sama. Mulai mempersiapkan berbagai peralatan yang diperlukan karena sebentar lagi Mbok Ratih akan pentas menari.
“Dek Mila, Mbok Ratih takut,” kata Mbok Ratih pagi itu pada Dek Mila, adiknya.
“Kenapa takut?” tanya Dek Mila.
“Kalau menarinya salah, bagaimana?” kata Mbok Ratih dengan wajah cemas.
Dek Mila langsung memeluk Mbok Ratih dan berkata,”Bisa kok! Kan, Mbok Ratih sudah latihan.”
Mereka pun berpelukan bersama.
Ibu, Bapak, Mbok Ratih, dan Dek Mila berangkat ke Art Centre, Denpasar, tempat Mbok Ratih akan pentas menari. Mbok Ratih menjadi salah satu duta penari dari Kota Denpasar untuk acara seni tahunan yang begitu besar, yaitu Pesta Kesenian Bali (PKB). Pada acara ini, para seniman perwakilan dari seluruh kota dan kabupaten di Bali akan tampil disini.
Dek Mila mengerti kenapa Kak Ratih begitu gugup dengan pementasan ini walaupun sudah sering pentas menari. Pasti karena ini acara besar dan penontonnya begitu banyak memenuhi area panggung. Lagipula untuk bisa menari di PKB, Mbok Ratih harus mengikuti banyak sekali seleksi dan latihan menari hampir setiap hari.
“Dek Mila bangga sekali sama Mbok Ratih,” kata Dek Mila ketika mereka sampai di belakang panggung. Mbok Ratih memeluk Dek Mila. Di sana, sudah ada banyak penari yang akan mulai gladi resik dan mempersiapkan diri untuk tampil. Kostum-kostum tari pun sudah siap. Mbok Ratih segera bergabung dengan teman-temannya.
Acara malam di panggung Ardha Chandra baru dimulai sekitar pukul 19.00. Namun, sejak pukul 17.00, para penonton sudah berkumpul di sekitaran panggung. “Wah, sudah mulai datang penontonnya,” kata Ira, pasangan menari Mbok Ratih.
Mbok Ratih mengintip sedikit dan semakin gugup ketika melihat orang-orang berdatangan. Dek Mila yang memilih menemani Mbok Ratih mempersiapkan diri, mulai melihat lagi wajah gugup kakaknya. “Yuk, Mbok, pakai kostumnya sekarang,” ajak Dek Mila. Ibu dan Bapak pamit pulang sebentar sebelum kembali menonton. Sebenarnya, Dek Mila juga diajak pulang, tetapi ia tak mau. Dek Mila ingin menemani Mbok Ratih.
Tiba saatnya acara akan dimulai. Mbok Ratih akan menari di awal-awal acara.
“Mbok Ratih, semangat yaaa. Dek Mila akan cari tempat duduk untuk menonton,” kata Dek Mila sambil melambaikan tangan pada kakaknya. Mbok Ratih sudah cantik dengan riasan dan kostum tari. Mbok Ratih pun mengangguk dan tersenyum.
Dek Mila menaiki tangga untuk menuju kursi penonton. Ia kaget melihat ada banyak sekali penonton yang sudah duduk. Bahkan sampai berdiri-diri menggerombol karena tidak kebagian tempat duduk.
“Yah Bu, bagaiamana ini. Kita tidak kebagian tempat,” kata Dek Mila.
“Iya ya, penuh sekali. Tapi Ibu bangga, ada banyak orang yang suka menonton pementasan ini,” kata Ibu.
Ibu benar juga, pikir Dek Mila. Ia harusnya bangga karena penontonnya banyak. Ia harus bangga pada Mbok Ratih.
Acara sudah dimulai. Dek Mila, Ibu, dan Bapak belum mendapat tempat duduk. Sebentar lagi Mbok Ratih akan tampil. Tiba-tiba Bapak mendapat ide. Bapak menggendong Dek Mila, agar ia bisa menonton Mbok Ratih.
“Yaaaay,” seru Dek Mila riang, tepat ketika Mbok Ratih bersama penari lainnya memasuki panggung dan mulai menari.
Dek Mila, Bapak, dan Ibu pun begitu asik menonton pementasan tari Mbok Ratih.
“Hebat sekali Mbok Ratih ya Bu,” kata Dek Mila.
“Iyaa, Ibu tetap bangga walaupun menonton dari jauh,” kata Ibu.
“Bapak juga bangga,” tambah Bapak sambil tersenyum.
Para penonton memberi selamat pada penari.
Seusai acara, Dek Mila pun langsung menuju ke panggung untuk bertemu Mbok Ratih. Di panggung tersebut, semua orang memberi selamat pada semua yang tampil. Di tangan Dek Miila sudah ada bunga mawar putih, bunga kesukaan Mbok Ratih. Dek Mila membelinya dengan uang tabungan sendiri. Khusus untuk kakaknya yang hebat. Mbok Ratih.
Foto-foto: Putri Puspita | Bobo.ID
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR