Seta menjawab dengan anggukan. Memang benar yang dikatakan Cendan.
“Cendan, di mana orang tuamu? Aku ingin berterima kasih sudah memperbolehkanku tinggal di sini,” kata Seta.
Sekarang gantian Cendan yang diam. Wajahnya jadi sedih. Seta menyadari perubahan Cendan. Mungkin ada hal yang salah dari yang Seta tanyakan.
Setelah cukup lama saling diam, akhirnya Cendan bicara, ”Aku tinggal sendirian saja Seta.”
Seta masih tidak mengerti. Apakah Cendan dan keluarganya terpisah seperti ia dengan keluarganya?
“Sama seperti kamu, aku dan keluarganya terpisah. Bukan karena hujan badai, tetapi karena perburuan liar,” kata Cendan.
Seta pernah mendengar sebelumnya kalau para pemburu mengincar burung cendrawasih karena keindahan bulunya. Harga burung cendrawasih pun mahal. Perburuan itu pun sudah dilarang karena jumlah burung cendrawasih sudah sangat sedikit, bahkan mendekati punah.
“Aku belum bertemu satu pun keluargaku sejak empat bulan yang lalu,” kata Cendan.
Seta mengerti perasaan Cendan, pasti sama seperti perasannya saat ini. Namun, Cendan bisa tetap tersenyum bahkan menolongnya. Cendan memang hebat.
“Mari kita cari keluarga kita sama-sama ya Cendan,” kata Seta.
Cendan mengangguk. “Aku percaya, mereka masih hidup,” kata Cendan.
Merekapun duduk berdua menikmati matahari yang sebentar lagi tenggelam. Persahabatan Cendan dan Seta dimulai dari keinginan menemukan keluarga.
“Mari kita mulai perjalanan mencari keluarga kita,” kata Seta.
“Iya, kita pasti bisa menemukannya,” kata Cendan.
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR