Seta bangun tidur dengan perut yang lapar. Ia membuka matanya, melihat ke sana ke mari, tetapi tempat ini tidak ia kenali. Seta berusaha mengingat apa yang terjadi sebelumnya.
“Oh yaa, aku ditolong oleh burung cendrawasih,” katanya pelan-pelan.
kriook kriook…. Perut Seta berbunyi lagi.
“Hai Seta,” sapa Cendan.
“Pasti kau lapar, yaa,” kata Cendan lagi sambil memberikan semangkuk kecil madu.
Seta memakan madu dengan lahap. Ia memang sangat lapar. “Terima kasih, ya, Cendan,” kata Seta.
Langit hutan waktu itu sama cerahnya seperti kemarin dan kesedihan Seta pun masih sama seperti kemarin. Cendan melihat Seta melamun. Pasti memikirkan tentang keberadaan keluarganya.
“Seta, boleh aku ikut di sini bersamamu?”kata Cendan. Seta mengangguk.
“Kamu pasti sedang memikirkan tentang keluargamu,” kata Cendan.
“Iya Cen, aku tidak tahu lagi harus mencari ke mana. Hutan ini begitu luas. Kami terpisah begitu saja karena hujan badai,” jawab Seta.
“Nanti kita coba cari ke tempat yang lain. Mungkin keluargamu sama seperti kau, yang berlindung di suatu tempat,” kata Cendan.
“Akupun tidak tahu mereka masih hidup atau tidak. Kami hanya semut hitam, kalau terkena badai, sangat mudah mati,” kata Seta sambil menangis.
“Kita harus percaya bahwa mereka masih hidup, supaya kita punya semangat untuk mencarinya Seta. Kita akan cari sama-sama,” kata Cendan.
Seta menjawab dengan anggukan. Memang benar yang dikatakan Cendan.
“Cendan, di mana orang tuamu? Aku ingin berterima kasih sudah memperbolehkanku tinggal di sini,” kata Seta.
Sekarang gantian Cendan yang diam. Wajahnya jadi sedih. Seta menyadari perubahan Cendan. Mungkin ada hal yang salah dari yang Seta tanyakan.
Setelah cukup lama saling diam, akhirnya Cendan bicara, ”Aku tinggal sendirian saja Seta.”
Seta masih tidak mengerti. Apakah Cendan dan keluarganya terpisah seperti ia dengan keluarganya?
“Sama seperti kamu, aku dan keluarganya terpisah. Bukan karena hujan badai, tetapi karena perburuan liar,” kata Cendan.
Seta pernah mendengar sebelumnya kalau para pemburu mengincar burung cendrawasih karena keindahan bulunya. Harga burung cendrawasih pun mahal. Perburuan itu pun sudah dilarang karena jumlah burung cendrawasih sudah sangat sedikit, bahkan mendekati punah.
“Aku belum bertemu satu pun keluargaku sejak empat bulan yang lalu,” kata Cendan.
Seta mengerti perasaan Cendan, pasti sama seperti perasannya saat ini. Namun, Cendan bisa tetap tersenyum bahkan menolongnya. Cendan memang hebat.
“Mari kita cari keluarga kita sama-sama ya Cendan,” kata Seta.
Cendan mengangguk. “Aku percaya, mereka masih hidup,” kata Cendan.
Merekapun duduk berdua menikmati matahari yang sebentar lagi tenggelam. Persahabatan Cendan dan Seta dimulai dari keinginan menemukan keluarga.
“Mari kita mulai perjalanan mencari keluarga kita,” kata Seta.
“Iya, kita pasti bisa menemukannya,” kata Cendan.
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR