Pagi itu Dea sudah siap ke sekolah. Buku pelajarannya sudah masuk ke tas dan ia juga sudah sarapan. Bukan hanya itu, kamar Dea juga sudah rapi. Dea tersenyum sambil menutup pintu.
“Ayah, Ibu, Dea sudah siap ke sekolah,” kata Dea dengan senyum yang manis.
“Yuk berangkat!” kata Ibu sambil menggandeng tangan Dea.
“Mbak Neni, Ibu Surti, Dea berangkat sekolah dulu, ya,” kata Dea sambil melambaikan tangan.
Dea duduk di kursi belakang mobil sambil melihat jalanan. Ayah menyetir mobil dan ibu duduk di sebelahnya.
“Dea, kalau Mbak Neni sudah tidak bersama kita lagi bagaimana?” kata Ibu membuka percakapan.
Dea diam sebentar, mencoba memikirkan jawaban.
“Kenapa?” tanya Dea singkat.
“Karena Dea sudah besar dan pintar sekarang. Jadi, Mbak Neni bisa menjaga anak lainnya supaya jadi sehebat Dea,” jawab Ayah.
Dea diam lagi tidak menjawab. Sekarang wajah Mbak Neni ada di kepalanya. Dea sangat sayang pada Mbak Neni yang membantu merawatnya sejak bayi, menemaninya makan, dan belajar saat TK.
Bagaimana kalau Mbak Neni tidak di rumah lagi?
Pertanyaan itu berputar di kepala Dea selama ia di sekolah bahkan sampai pulang dari sekolah.
Ketika sampai di rumah, ia melihat Mbak Neni membantu Bu Surti menyiapkan makan siang. Memang benar, Mbak Neni dulunya bertugas menjaga Dea, membantu Dea belajar, dan menemani bermain. Berbeda dengan Bu Surti yang bertugas bersih-bersih dan memasak. Namun, sekarang Dea sudah besar, bisa melakukan banyak hal sendiri. Ibu dan Ayah mengatakan sudah saatnya mandiri. Dengan begitu, Mbak Neni tidak punya tugas lagi.
Namun, Dea sayang dengan Mbak Neni.
Dea mendekati Mbak Neni siang itu. Ia bertanya,”Mbak Neni akan pindah dari sini, ya?” tanya Dea.
Mbak Neni yang punya senyum lembut segera menggandeng tangan Dea ke arah ruang tengah.
“Iya Dea, jika Dea mengizinkan. Mbak Neni akan pindah dari sini,” kata Mbak Neni.
Dea tiba-tiba merasa sedih mendengar hal itu. Kenapa Mbak? Rasanya Dea ingin bertanya begitu, tetapi ia hanya diam dan menunduk.
“Mbak Neni sayang Dea, dan Mbak Neni senang, sekarang Dea sudah jadi anak pintar,” kata Mbak Neni.
“Memangnya kalau Dea pintar, Mbak Neni harus pindah?” tanya Dea dengan mata berkaca-kaca.
“Kalau sudah besar, pintar, dan hebat, kan Dea sudah bisa lebih mandiri, bahkan bisa menolong orang lain. Nah, Mbak Neni perlu menjaga anak lainnya supaya jadi hebat seperti Dea,” jawab Mbak Neni.
Dea hanya diam saja. Ia masih sedih mendengar bahwa Mbak Neni tidak bekerja di rumah lagi.
“Maaf, ya, Dea, Mbak Neni tidak bisa disini lagi dengan Dea. Tapi, Mbak Neni selalu mendoakan Dea dan Mbak Neni yakin kalau Dea akan jadi anak hebat. Anak hebat itu anak yang mandiri. Dea sudah mulai mandiri,” kata Mbak Neni sambil memeluk Dea.
Dea mengangguk dan memeluk Mbak Neni lama sekali.
“Mbak Neni, nanti kenalkan Dea pada anak baru yang Mbak Neni jaga, ya,” kata Dea.
Mbak Neni mengangguk.
”Pasti Mbak Neni kenalkan. Tapi Dea harus sabar, ya, karena anak itu sekarang ada di dalam perut Mbak Neni.”
Dea kaget bercampur bahagia. Jadi, anak baru yang akan dijaga Mbak Neni adalah anak Mbak Neni sendiri. Dea sangat bahagia, rasanya seperti mendengar bahwa dirinya akan punya adik.
“Kalau dedek sudah lahir, main sama Dea, ya,” kata Dea sambil mengelus perut Mbak Neni.
Mereka pun berpelukan lagi, tapi sekarang Dea sudah tidak sedih. Benar kata Ayah, Ibu, dan Mbak Neni kalau Dea sudah mulai mandiri dan harus belajar untuk terus mandiri.
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR