Hari belum begitu malam. Yudi sedang nonton teve di rumah. Sendiri saja. Ayah, Ibu dan kedua adiknya pergi ke Puncak, menginap di villa teman Ayah. Yudi tidak ikut. Besok pagi ia akan pergi memancing bersama teman-teman sekelas. Semua anak laki-laki akan berkumpul di sekolah pukul 6 pagi. Itu lebih mengasyikkan daripada pergi ke Puncak.
Rumah tetangga di sebelah kiri rumah Yudi, sangat sepi. Pak Wawan baru meninggal kemarin. Istri dan pembantunya mungkin sudah tidur. Anjing mereka, Bruno mendengus-dengus gelisah di halaman. Mungkin Bruno sedih, kehilangan majikan yang bisa mengajaknya bermain.
Di rumah sebelah kanan lebih sepi lagi. Rumah itu sedang direnovasi. Batu bata dan kerikil bertumpuk di halamannya. Alangkah berbeda suasana malam dengan siang hari. Tadi siang banyak pekerja bangunan di rumah sebelah. Eko, Dimas, dan Iwan juga datang ke rumah Yudi untuk mengerjakan tugas kelompok. Kini setelah malam tiba, suasana jadi sepi sekali.
"Ah sebaiknya aku tidur sekarang. Supaya besok tidak kesiangan," pikir Yudi. Ia segera mematikan teve. Tiba-tiba terdengar bunyi anjing melolong.
"Itu suara Bruno. Jangan-jangan ia melihat arwah majikannya," batin Yudi. Ia agak takut.
"Ah, Dimas dan Iwan payah, sih. Tak mau kuajak menginap di sini!" pikir Yudi lagi. Dimas dan Iwan meledeknya sore tadi. "Pasti kamu takut, ya? Badan sebesar gajah, tapi takut tidur sendiri!"
Kini terdengar bunyi kerikil diinjak orang. Apa itu pencuri? Dag dig dug... Yudi bisa mendengar detak jantungnya sendiri.
"Uaaaaauung....!" Terdengar lagi lolongan Bruno.
"Ah, lebih baik kuperiksa. Mungkin ada pencuri di rumah sebelah!"
Yudi berdoa memohon keberanian. Lalu ia mengambil senter dan pentungan. Yudi mengendap-endap keluar. Ia mengintip dari tembok rumahnya ke rumah sebelah. Ada makhluk berbaju putih dan bertopi sedang jongkok. Tampaknya sedang mencari sesuatu. Yudi menyalakan senter. Makhluk itu menoleh. Wajahnya kuning, hidungnya aneh, giginya besar-besar bagaikan gigi raksasa. Yudi gemetar dan segera masuk ke rumah, mengunci pintu.
Makhluk itu ternyata tidak mengikutinya. Yudi jadi penasaran. Mungkin saja itu makhluk angkasa luar yang butuh pertolongan. Perlahan-lahan Yudi keluar lagi. Kali ini ia keluar pagar, menuju ke rumah sebelah. Ternyata makhluk itu masih ada. Ia sedang mencari sesuatu dengan senter. Keberanian Yudi timbul. Tak mungkin hantu membawa senter.
"Siapa kau? Awas, kulapor pada satpam!" gertak Yudi.
Tiba-tiba makhluk itu menoleh. Ia memakai kedok. Pantas wajahnya berwarna kuning dan bentuk hidungnya aneh.
"Ayo lekas jawab, atau rasakan pentungku ini," desak Yudi.
Makhluk itu tertegun. Kemudian terdengar suaranya.
"Jangan pukul aku, Yud. Ini aku, Eko!"
Eko membuka topi dan kedoknya.
Yudi terperangah.
"Kamii... kamu sedang apa malam-malam begini? Pakai kedok... pakai topi... jas laboratorium kakakmu..." Yudi menggelenggelengkan kepala.
"Maaf, Yud! Aku berdandan begini supaya tidak dikenali orang. Aku sedang mencari..." Eko ragu meneruskan kata-katanya.
"Cari apa, Ko? Kau kehilangan barang berharga?" Yudi penasaran.
"lya. Aku akan beri tahu kamu, asal jangan beritahu teman-teman, ya!" kata Eko lagi.
"Aku berjanji akan merahasiakannya," janji Yudi tambah penasaran.
"Tadi siang, kan, kita makan bakso di sini. Baksonya keras dan gigi palsuku terlepas. Lalu kuludahkan keluar bersama bakso. Di dekat kerikil-kerikil ini. Aku takut ketahuan teman-teman. Aku malu memakai gigi palsu, walau hanya satu buah. Setelah aku, Iwan, dan Dimas pulang dari rumahmu, sebenarnya aku mau kembali ke sini. Tapi masih banyak tukang bangunan. Jadi kutunggu sampai malam. Gigi palsu itu harus ketemu. Kalau tidak, kan, kelihatan kalau gigiku ompong. Lagipula ibuku pasti marah, karena harga gigi palsu itu mahal!"
Yudi tersenyum geli bercampur kasihan.
"Jadi sampai sekarang belum ketemu? Jangan-jangan dibawa lari tikus, Ko!" kata Yudi. "Bentuknya seperti apa, sih?"
"Seperti gigi biasa. Ada plastik merah jambu dan kawatnya!" kata Eko.
Yudi membungkuk. Mengamati sekitar tempat itu dengan seksama. Dan di antara batu-batu kerikil tampak kepingan berwarna merah jambu. Yudi mengangkatnya dan menunjukkan pada Eko.
"Ini yang kamu cari, Ko?" tanya Yudi sambil menggosokkannya di bajunya.
"Ya, ya, benar. Aduh, Yud, terima kasih banyak! Kamu telah menolongku memecahkan masalah yang sulit," kata Eko riang.
"Kamu hebat, Ko. Kecil-kecil begini sudah berani sendirian di tempat gelap!" puji Yudi.
"Ah, ini, kan, terpaksa!" kata Eko.
"Ingat, ya, Yud. Jangan ceritakan rahasiaku ini pada siapa-siapa!"
"lya, aku sendiri juga punya rahasia, Ko. Sebenarnya aku takut tidur sendirian. Tetangga sebelah rumahku baru meninggal kemarin. Anjingnya melolong terus. Suasananya mengerikan. Dimas dan Iwan tak mau menginap disini menemaniku!" Yudi tiba-tiba mempercayakan rahasianya pada Eko.
"Bagaimana kalau aku menginap di rumahmu malam ini? Aku sangat berterima kasih padamu. Aku juga takkan cerita pada siapa-siapa kalau kamu takut tidur sendiri!" kata Eko.
"Wah, bagus sekali, tuh. Kamu benar-benar menolongku memecahkan masalah yang sulit!" kata Yudi gembira.
Malam itu Eko menginap di rumah Yudi. Esok harinya Dimas dan Iwan menanyakan apakah Yudi bisa tidur semalam.
Yudi menjawab dengan mantap. "Tentu saja, aku tertidur pulas bagaikan bayi!"
Rahasia Yudi dan Eko tidak tersebar di antara kawan-kawannya. Kecuali tersebar di antara pembaca Bobo tentunya.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR