Keluarga Pak Bambang baru dua hari pindah ke rumah baru. Anak tunggal mereka, Nana, karena belum mempunyai teman, terpaksa bermain sendiri di halaman rumah. Nana baru berumur 5 tahun.
Bosan bermain sendiri, Nana berjalan mengitari rumahnya. Ketika melewati halaman belakang, Nana menemukan sebuah rumah terbuat dari papan. Nana segera mendekati rumah itu.
"Kreee...k!!" la membuka pintu yang tak terkunci itu.
Ternyata rumah papan itu adalah sebuah gudang. Di dalamnya terdapat kursi rusak, tangga bambu, gulungan selang, sepeda rusak dan beberapa perabotan dapur yang tak terpakai. Nana mendekati sebuah kardus yang terletak di lantai. Kardus ini sudah jelek dan agak basah. Tampaknya atap gudang yang bocor yang membasahi kardus itu. Ingin tahu isinya, Nana segera membuka kardus itu.
"Boneka-boneka!!" seru Nana kegirangan seperti baru menemukan harta karun.
Segera ia mengeluarkan isi kardus itu satu persatu. Ada boneka panda, boneka kelinci, boneka kucing. Sayang, semuanya sudah jelek kena air hujan.
"He, boneka ini masih bagus!" seru Nana tiba-tiba ketika melihat sebuah boneka anak perempuan yang terbuat dari kain. Rambut boneka itu terbuat dari benang wol yang dikepang. Bola matanya besar dan dapat bergerak-gerak. Boneka itu adalah satu-satunya boneka yang masih bagus, karena terbungkus rapi dengan plastik. Nana langsung menyukai boneka itu.
"Mulai nanti malam, kau temani aku tidur, ya," ucap Nana.
Tiba-tiba boneka itu tersenyum. Nana sangat terkejut. Ia segera lari menjumpai Mama.
"Boneka ini tadi tersenyum, Ma. Nana tidak bohong," Nana meyakinkan Mama.
Mama tersenyum sambil membelai kepala anaknya. Melihat senyum Mama, Nana yakin Mama tidak percaya pada ceritanya.
Keesokan harinya, Nana bermain dengan bonekanya di bawah pohon mangga di halaman. Tiba-tiba, ia melihat seorang bapak menyapu di halaman rumahnya. Nana segera menemui Mama.
"Itu Pak Win, tukang kebun kita," ujar Mama. "Dulu Pak Win bekerja pada keluarga Budianto, pemilik rumah ini dulu."
Nana lalu berlari menghampiri Pak Win.
"Selamat pagi, Pak Win," sapa Nana.
"Eh... selamat pagi. Non Nana, kan?" sapa Pak Win ramah.
Nana mengangguk sambil tersenyum. Tiba-tiba, Pak Win memerhatikan boneka yang dipegang Nana.
"Boneka Non Nana sama persis dengan boneka kesayangan Non Prita," ujar Pak Win.
"Prita itu siapa, Pak?" tanya Nana.
"Anak tunggal Bapak dan Ibu Budianto," jawab Pak Win pelan.
"Boneka ini pasti milik Prita. Saya menemukannya di gudang, kemarin. Kok, tidak ikut dibawa? Ketinggalan kali, ya?" tanya Nana bertubi-tubi.
"Non Prita menamakan boneka itu Tia," ucap Pak Win terburu-buru, lalu pergi tanpa menjawab pertanyaan Nana.
Suatu hari, Nana bermain-main dengan Tia di halaman. Tiba-tiba ia melihat tangga bambu tersandar di pohon mangga. Rupanya, Pak Win lupa menyimpan kembali tangga itu sehabis memetik mangga.
“Aku mau memanjat pohon mangga, ah,” pikir Nana.
"Mama selalu melarang aku memanjat pohon. Tapi, aku ingin sekali. Tia, kamu tunggu di bawah, ya," kata Nana pada Tia.
Mata Tia yang bulat sepertinya melarang Nana untuk memanjat. Tetapi, Nana tidak mempedulikannya. la pun mulai menaiki anak tangga itu satu per satu. Sambil terus menaiki tangga, tangan Nana menggapai-gapai berusaha meraih buah mangga yang berada di atas kepalanya. Tiba-tiba... ada benda-benda yang merayap di betis, lengan dan pipinya.
"Semut-semut besar!" seru Nana lalu sibuk mengusir semut itu. Tetapi, semut-semut itu cukup banyak. Nana jadi kelabakan. la pun kehilangan keseimbangan.
"Aa... hh...."
Bum!! Nana jatuh dari tangga.
Ketika sadar kembali, Nana sudah berada di kamarnya. Mama duduk di tepi tempat tidur sambil mengompres dahinya.
"Jangan banyak bergerak dulu, Na. Tadi Pak Dokter sudah memeriksamu. Katanya, Nana tidak apa-apa.Tapi, harus banyak istirahat," kata Mama lembut.
"Maafkan Nana, Ma!" ucap Nana sedih.
Mama mengangguk sambil tersenyum. "Jangan diulangi lagi, ya!"
Nana mengangguk.
Ketika Mama keluar, Nana melihat Tia ada di sampingnya.
"Lho... Tia. Kau menangis?"
Nana sangat heran ketika dari sudut mata Tia menetes air mata. Ia ingin berteriak memanggil Mama. Namun, segera ia urungkan.
"Mama pasti tidak percaya!"
Setelah kejadian itu berulang kali terjadi, Nana berkesimpulan. Setiap kali Nana berbuat nakal atau terluka, Tia pasti menangis. Tia seakan-akan tahu apa saja yang dilakukan Nana. Lama kelamaan, Nana tidak tahan lagi menyimpan rahasia itu. Ia ingin sekali menceritakan hal tersebut pada seseorang.
"Pada Mama tidak mungkin. Pada Papa... apalagi," gerutu Nana.
Tiba-tiba Nana teringat pada Pak Win.
"Pak Win mungkin tahu mengapa Tia menangis setiap kali aku berbuat nakal."
Keesokan harinya, sambil menggendong Tia, Nana menghampiri Pak Win yang sedang menggunting rumput.
"Pak Win, Nana punya rahasia. Tapi Pak Win janji, ya, tidak menceritakan pada siapa pun," ucap Nana berbisik-bisik.
"Ya, ya. Pak Win janji," ujar Pak Win. Pak Win dan Nana lalu duduk di atas rumput. Nana pun mulai bercerita tentang Tia.
"Pak Win, kenapa, ya, Tia suka menangis?" tanya Nana.
"Mungkin Tia tidak suka jika pemiliknya nakal. Dan...."
"Dan apa, Pak Win?" tanya Nana penasaran.
"Eeh... Pak Win juga punya rahasia. Non juga janji tidak akan cerita pada siapa-siapa, ya," ucap Pak Win.
Nana menganggukserius.
Dengan sedih Pak Win mulai bercerita bahwa Prita sudah meninggal. Prita memang agak nakal. Ia suka memanjat pohon mangga, walau sudah dilarang oleh ibunya. Suatu hari Prita jatuh dari pohon mangga sehingga dibawa ke rumah sakit. Sayang, jiwanya tak tertolong. Bapak dan Ibu Budianto sangat sedih. Mereka lalu pindah ke Magelang danmeninggalkan semua mainan Prita di gudang. Karena setiap kali melihat mainan Prita, mereka sangat sedih.
Pak Win bercerita bahwa ia juga pernah melihat Tia menangis. Yaitu ketika Prita dibawa ke rumah sakit. Namun, peristiwa aneh itu tidak ia ceritakan pada Bapak dan Ibu Budianto. Sebab ia yakin mereka tidak akan percaya apda ceritanya.
“Tia kini memiliki pemilik baru. Rupanya Tia takut kehilangan pemiliknya lagi. Itu sebabnya ia menangis jika Non Nana berbuat nakal,” ucap Pak Win panjang lebar.
Nana mengangguk mengerti.
“Pantas Tia menangis waktu aku jatuh dari pohon. Tia juga menangis waktu aku jatuh di kamar mandi. Rupanya Tia takut kehilangan aku,” ujar Nana.
Nana kemudian memeluk Tia erat-erat.
"Tia, Nana berjanji tidak akan nakal lagi. Nana tidak akan membuat Tia menangislagi," janji Nana pada Tia.
Air mata Pak Win menetes, karena terharu mendengar janji Nana. Seperti Tia, Pak Win juga tidak ingin lagi kehilangan majikan kecilnya.
Sejak saat itu, Nana memang tidak nakal lagi. Ia selalu mendengar nasihat Mama dan Papa. Mama dan Papa Nana heran sekali melihat perubahan sikap Nana. Namun, rahasia tentang Tia hanya diketahui oleh Nana dan Pak Win.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Vanda Parengkuan.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR