Tidak seperti biasa, sore itu Ibu pulang membawa oleh-oleh istimewa. Tiga potong kue black forest dalam kotak makanan yang dibungkus kantong plastik transparan.
“Dapat black forest dari mana, Bu?” tanyaku heran bercampur girang.
Kue semacam ini hanya bisa kunikmati pada pesta ulang tahun teman. Tart berlapis balok-balok coklat, berlumur krim mentega dan hiasan buah ceri yang merah bulat mengkilat itu, Ibu taruh di atas meja makan. Terhidang bersama semangkuk sayur asam dan sepiring ikan asin.
“Dari Bu Daryo. Kebetulan Bu Daryo mendapat pesanan black forest 5 loyang, Ibu disuruhnya membantu mengocok adonan!”
Tumben, gumamku membatin. Sudah tiga tahun Ibu bekerja sebagai pembantu di rumah Bu Daryo. Pengusaha katering yang terkenal pelit itu hampir tak pernah membagikan makanannya. Padahal seringkali kulihat makanan sisa katering yang melimpah di dapurnya terbuang percuma. Terlebih seusai mendapat pesanan untuk pesta pernikahan.
“Ambil kuenya sepotong, yang lain buat abang dan adikmu!” ujar Ibu cepat.
Kutatap potongan black forest bagianku dengan mata berbinar-binar. Ah, biar kusimpan sampai besok pagi. Akan kubawa sebagai bekal sekolah. Kebetulan besok ada pelajaran tambahan. Biasanya teman-teman membawa chicken nugget, potongan daging ayam cepat saji, atau roti gulung isi sosis dan selada untuk mengisi perut. Sementara aku tak mungkin membawa makanan semahal itu. Yang tersedia di rumah paling-paling cuma ubi atau pisang goreng. Tapi kadang kubawa juga penganan sederhana yang cukup mengenyangkan itu.
Keesokan harinya kubawa blackforest pemberian Bu Daryo ke sekolah. Kumasukkan ke dalam kantong plastik kecil, lalu kutaruh dalam tas bagian depan. Waktu istirahat menjelang pelajaran tambahan, semua murid membuka bekalnya. Aku pun berniat mengeluarkan bekalku dari dalam tas, tapi... Tiba-tiba datang Kunti, murid kelas VI B. Dia anak Bu Daryo yang kebetulan satu sekolah denganku.
“Hai Mala, bawa bekal apa hari ini?” tegurnya menyelidik.
Aku menggeleng. Ugh, tak akan kumakan kue itu di hadapannya! Aku tak mau dia mencibir seperti ketika aku memakai sepatu bekasnya yang diberikan Bu Daryo kepada Ibu sebulan lalu. Dia pasti akan bercerita pada teman-teman kalau kue itu makanan sisa katering pemberian ibunya. Diam-diam kusimpan kembali kue itu ke dalam tas. Lebih baik kumakan sepulang sekolah nanti!
Selepas pelajaran tambahan, rasa lapar merongrong perut. Sambil berjalan pulang kukeluarkan black forest itu dari dalam tas. Wah... bentuknya sudah tak karuan, bahkan cokelatnya yang lumer menempel pada kantong plastik. Tapi... ah, rasanya pasti tetap enak!
Baru saja hendak kugigit ujungnya, tiba-tiba gerimis turun lamat-lamat. Aku berjalan tergesa, jangan sampai kehujanan di tengah jalan! Betul saja, baru beberapa langkah berjalan, hujan turun dengan derasnya. Aku menepi, berteduh pada sebuah pos ronda. Ternyata aku tak sendirian. Seorang bocah kecil juga berdiri meringkuk di sudut. Tangannya menggenggam kecrekan yang terbuat dari kayu dan tutup botol.
Barangkali kecrekan itu akan dipakainya mengamen. Sepertinya pengamen kecil itu juga terjebak hujan, pikirku singkat.
Ah, masa bodohlah, toh aku tak mengenalnya! Lapar kembali meremas perut. Lagi-lagi black forest kukeluarkan dari dalam tas, kurogoh dalam bungkusan plastik. Aku membuka mulut lebar- lebar, siap melumat potongan blackforest itu dengan lahap. Tapi sepasang mata cekung di sampingku tak lepas menatap kue coklat itu.
Aku tertegun. Lalu menoleh. Bocah kecil berbaju lusuh itu tergagap, kemudian buru-buru melemparkan pandangannya ke jalan.
Kembali kubuka mulut lebar-lebar, si bocah kecil diam-diam mencuri pandang. Aku melirik. Dia melengos. Apa peduliku? Bocah itu tak meminta, lagipula black forest ini, kan, memang jatahku. Kalau dibagi dua, mana cukup untuk mengganjal perut? Bocah kecil mengulum bibirnya dengan lidah, tanpa sadar dia mengusap-usap perutnya. Aku terhenyak. Berikan... jangan... berikan... jangan... ugh! Dengan berat hati kusodorkan black forest itu, “Mau?”
Terus terang tadinya aku sekadar berbasa-basi menawari. Tapi ups... diluar dugaan si bocah kecil mengangguk. Glek... Aku menelan ludah, terpaksa kurelakan bungkusan berpindah tangan. Nyam... nyam... nyam... Bocah kecil nikmat mengunyah, sementara perutku yang meronta kian terasa. Dalam waktu singkat disantapnya kue jatahku sampai tandas.
Sambil menahan air liur, kuratapi black forest-ku yang telah lumat dalam mulut bocah itu. Si bocah menghabiskan sisa kue, bahkan menjilati cokelat yang masih menempel dalam plastik. Ah, tentu lezat rasanya. Tapi mungkin black forest itu memang rejekinya hari ini. Dia kelihatan lapar sekali. Aku sudah memberikannya. Aku harus rela!
Hujan mulai reda. Aku berjalan pulang dengan perut lapar dan perasaan lega. Biarpun gagal makan black forest, tapi masih ada semangkuk sayur terong dan sepiring tempe hangat untuk makan siangku. Sementara bocah kecil tadi belum tentu punya jatah makan siang hari ini.
Sesampainya di rumah, aku langsung menghambur ke meja makan. Saat kubuka tudung saji, aku terperangah. Black forest! Bukan hanya sepotong, tapi seperempat loyang! Aku mengusap mataku, jangan-jangan cuma mimpi. Tapi ketika kucolek kue tart itu, ujung telunjukku penuh berlumur cokelat. Kucicipi rasanya, mmmh... Pasti bukan mimpi!
“Eit, cuci dulu tangannya!” tegur Ibu tiba-tiba, aku terlonjak.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Dwi Pujiastuti.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR