Setelah melewati jalan kampung yang becek, kami tiba di sebuah rumah kecil berdinding kayu, dari jauh rumah itu sudah menarik perhatianku. Walau bentuknya sederhana, tetapi asri dan bersih. Pagar bambunya dicat warna-warni. Begitu pula dinding kayunya yang dicat kuning dan hijau. Gaya sekali!
“Nah, kita sudah sampai!” seru Naning.
Astaga! Aku terkejut. Jadi ini rumah Naning? Aku sungguh tak menyangka. Naning yang supel dan ceria ternyata rumahnya biasa-biasa saja. Bahkan rumah itu tidak permanen seperti rumahku. Dindingnya bukan dari batu bata, tapi dari kayu. Letaknya di dalam gang, bukan di komplek seperti rumahku. Tetapi kenapa dia tak merasa rendah diri dan malu?
Kebun yang diceritakannya juga bukan kebun sungguhan. Melainkan sedikit sisa tanah yang sempit di antara teras dan pagar. “Kebun” itu dihiasi bunga-bunga, apotek hidup, dan pohon jambu.
Teman-temanku langsung menyerbu pohon jambu. Bagus dan Dodi tampak lihai memanjat. Sementara Rara merengek minta diajari. Naning, aku, dan Debbie menyiapkan bumbu rujak. Dapur itu sangat kecil, peralatannya juga sederhana. Kompor minyak tanah, panci, wajan alumunium yang hitam berjelaga, cobek batu, talenan kayu…semua jauh lebih sederhana dari alat-alat dapurku.
Selesai memetik jambu, kami semua duduk di ruang tamu yang sempit tapi teduh. Kupandangi sekeliling rumahnya. Tak ada pajangan mahal. Hanya ada tanaman penghias ruangan dan benda-benda sederhana yang ditata apik dan cantik.
Tak lama kemudian ibu Naning datang dari pasar. Ibu Naning sangat terkejut karena kami makan rujak sebelum makan siang.
“Eeeh…nanti kalian sakit perut, lo!”
Kemudian ibu Naning menghidangkan jajanan pasar dan teh manis untuk menemani kami belajar. Kami meneruskan diskusi hari itu. Ketika diskusi selesai, di atas meja makan telah tersedia cah kangkung dan tempe bacem. Persis seperti yang biasa dimasak ibuku di rumah. Sungguh di luar dugaan, ternyata teman-temanku sangat lahap memakannya.
Kutatap Naning diam-diam. Naning yang selalu bercanda dan tertawa renyah. Naning yang selalu ceria. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa kagum padanya. Hari ini kami bahagia sekali. Diskusi kami diselingi tawa dan keceriaan. Ah, rumah mewah bukan jaminan. Asal bisa menghadirkan suasana yang menyenangkan, rumah sederhana pun jadi nyaman.
Saat hari hampir sore, kami pun bersiap pulang. Entah mengapa tiba-tba aku nyeletuk. “Minggu depan diskusi di rumahku, ya? Aku punya adik yang lucu! Hmm… kalian pasti akan gemas melihatnya!”
Semua mengangguk setuju. Fiuh… aku pulang ke rumah dengan perasaan gembira. Rumahku yang kecil dan sederhana, tapi aku pasti bisa membuatnya jadi rumah yang indah!
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Dwi Pujiastuti.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR