“Hari ini kita diskusi di rumah siapa?” tanya Rara.
Aku pura-pura tak mendengar. Aku langsung menyibukkan diri mencatat tugas di papan tulis. Dalam hati aku cemas. Jangan sampai Rara melirik ke arahku. Sebab selama ini hanya rumahku dan Naning yang belum pernah ketempatan untuk diskusi kelompok.
Beberapa minggu lalu kami belajar di rumah Debbie. Rumahnya besaaar sekali. Seperti rumah-rumah dalam sinetron di televisi. Di halaman belakangnya ada taman dan kolam renang. Selesai belajar kami sempat berenang dan makan siang. Pembantunya sudah menyiapkan hidangan lezat untuk kami berenam.
Sementara tiga minggu yang lalu, giliran Dodi yang jadi tuan rumah. Rumahnya sangat luas. Ada kebun durian dan taman yang tertata indah. Kami pesta durian di sana. Ayah Dodi sangat lucu dan ramah. Lelucon-leluconnya selalu membuat kami tertawa. Beliau juga memberi kami durian untuk dibawa pulang.
Begitu juga rumah Bagus dan Rara. Mereka anak-anak orang kaya. Rumah mereka sangat mewah. Penuh pajangan keramik dan kristal-kristal yang mewah. Aku jadi rendah diri. Rumahku tak sebesar mereka. Tak ada pernak-pernik yang menghias ruangannya. Keluargaku hanya tinggal di rumah yang mungil. Walau kami hidup berkecukupan, tetapi sangat sederhana bila dibandingkan dengan teman-teman sekolahku.
“Bagaimana kalau kita diskusi di rumah Lulu?” usul Dodi mengejutkan. Aku tersentak. Dadaku berdegup kencang. Akhirnya apa yang kutakutkan jadi kenyataan!
“Eit, tunggu dulu! Sekarang giliranku!” sela Naning tiba-tiba.
“Jambu di kebunku sedang berbuah, lo!” rayu Naning sambil tersenyum renyah.
“Asyik! Kita rujakan, ya?” sahut Bagus bersemangat.
“Bereees!” kata Naning sambil mengacungkan jempolnya. Aku menarik napas. Fiuuuh... lega rasanya!
Pulang sekolah, kami sama-sama menuju rumah Naning. Kami diantar Pak Rasto, supir Rara sampai depan gang. Soalnya mobil tak bisa masuk ke dalam gang itu.
“Maklum! Banyak orang penting yang tinggal di sini. Jadi untuk menjaga ketenangan, jalannya sengaja dibuat sempit. Biar tak sembarangan orang bisa masuk!” seloroh Naning yang langsung disambut teriakan huuuu….yang keras. Sekali lagi Naning tertawa renyah.
Setelah melewati jalan kampung yang becek, kami tiba di sebuah rumah kecil berdinding kayu, dari jauh rumah itu sudah menarik perhatianku. Walau bentuknya sederhana, tetapi asri dan bersih. Pagar bambunya dicat warna-warni. Begitu pula dinding kayunya yang dicat kuning dan hijau. Gaya sekali!
“Nah, kita sudah sampai!” seru Naning.
Astaga! Aku terkejut. Jadi ini rumah Naning? Aku sungguh tak menyangka. Naning yang supel dan ceria ternyata rumahnya biasa-biasa saja. Bahkan rumah itu tidak permanen seperti rumahku. Dindingnya bukan dari batu bata, tapi dari kayu. Letaknya di dalam gang, bukan di komplek seperti rumahku. Tetapi kenapa dia tak merasa rendah diri dan malu?
Kebun yang diceritakannya juga bukan kebun sungguhan. Melainkan sedikit sisa tanah yang sempit di antara teras dan pagar. “Kebun” itu dihiasi bunga-bunga, apotek hidup, dan pohon jambu.
Teman-temanku langsung menyerbu pohon jambu. Bagus dan Dodi tampak lihai memanjat. Sementara Rara merengek minta diajari. Naning, aku, dan Debbie menyiapkan bumbu rujak. Dapur itu sangat kecil, peralatannya juga sederhana. Kompor minyak tanah, panci, wajan alumunium yang hitam berjelaga, cobek batu, talenan kayu…semua jauh lebih sederhana dari alat-alat dapurku.
Selesai memetik jambu, kami semua duduk di ruang tamu yang sempit tapi teduh. Kupandangi sekeliling rumahnya. Tak ada pajangan mahal. Hanya ada tanaman penghias ruangan dan benda-benda sederhana yang ditata apik dan cantik.
Tak lama kemudian ibu Naning datang dari pasar. Ibu Naning sangat terkejut karena kami makan rujak sebelum makan siang.
“Eeeh…nanti kalian sakit perut, lo!”
Kemudian ibu Naning menghidangkan jajanan pasar dan teh manis untuk menemani kami belajar. Kami meneruskan diskusi hari itu. Ketika diskusi selesai, di atas meja makan telah tersedia cah kangkung dan tempe bacem. Persis seperti yang biasa dimasak ibuku di rumah. Sungguh di luar dugaan, ternyata teman-temanku sangat lahap memakannya.
Kutatap Naning diam-diam. Naning yang selalu bercanda dan tertawa renyah. Naning yang selalu ceria. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa kagum padanya. Hari ini kami bahagia sekali. Diskusi kami diselingi tawa dan keceriaan. Ah, rumah mewah bukan jaminan. Asal bisa menghadirkan suasana yang menyenangkan, rumah sederhana pun jadi nyaman.
Saat hari hampir sore, kami pun bersiap pulang. Entah mengapa tiba-tba aku nyeletuk. “Minggu depan diskusi di rumahku, ya? Aku punya adik yang lucu! Hmm… kalian pasti akan gemas melihatnya!”
Semua mengangguk setuju. Fiuh… aku pulang ke rumah dengan perasaan gembira. Rumahku yang kecil dan sederhana, tapi aku pasti bisa membuatnya jadi rumah yang indah!
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Dwi Pujiastuti.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR