Datu Lutang adalah seorang raja yang bijaksana. Jika hendak mengambil keputusan, ia selalu berunding dengan penasihatnya. Pada suatu hari, penasihat Datu Lutang meninggal dunia. Datu Lutang panik sekali.
“Kalau ada masalah penting, kepada siapa aku harus minta nasihat?!” keluhnya.
“Pokoknya, dalam minggu ini juga, kau harus menemukan penasihat baru!!” perintah Datu Lutang kepada Panglima Hiwu.
Tanpa bertanya lagi, Panglima Hiwu segera mengumpulkan rakyat kerajaan itu. la menyuruh rakyat untuk memilih seorang yang paling pandai di antara mereka. Mereka memilih seorang pria sederhana yang bernama Opo Dawi.
“Opo Dawi, Datu Lutang ingin berkenalan denganmu. Nanti malam, akan ada pesta di istana. Bersiap-siaplah, pengawal kerajaan akan menjemputmu,” ujar Panglima Hiwu.
Tiba-tiba, terdengar suara amarah seorang pria. “Ini tidak adil! Namaku Kune. Aku juga terkenal pandai. Siapa pun boleh mengujiku. Opo Dawi ini pandai mencari muka. Itu sebabnya rakyat memilih dia!”
“Kune, kalau kau merasa pandai, nanti malam kau pun akan dijemput pengawal kerajaan,” janji Panglima Hiwu.
Panglima Hiwu menepati janjinya. la mengutus delapan pengawal menjemput Opo Dawi dan Kune.
Mereka berdua masing-masing diusung di atas tandu yang dihias indah. Dalam perjalanan ke istana, tiba- tiba mereka dihadang gerombolan perampok. Para pengawal berusaha melawan tetapi perampok-perampok itu sangat kuat. Untung, serombongan tukang kayu datang untuk menolong mereka. Opo Dawi dan Kune sangat berterima kasih pada mereka.
Mereka lalu bertanya, “Hadiah apa yang kalian inginkan?”
“Kami tidak menginginkan hadiah apa pun. Namun, sudikah Opo Dawi dan Kune menginap di rumah kami malam ini? Istri dan anak-anak kami tentu akan bangga sekali jika ada calon penasihat Datu mau menginap di rumah kami,” mohon para tukang kayu. Opo Dawi dan Kune berjanji akan mengabulkan permintaan itu.
Tak lama kemudian, tibalah mereka di istana. Bermacam-macam hidangan lezat telah tersedia. Sambil menikmati hidangan, Datu Lutang menguji kepandaian Opo Dawi dan Kune. Ternyata, Kune memang tidak kalah pandai. Semua pertanyaan yang bisa dijawab oleh Opo Dawi, juga bisa dijawab oleh Kune.
Ketika malam semakin larut, Opo Dawi teringat akan janjinya. la segera pamit kepada Datu Lutang.
“Ah, lupakanlah janji itu! Menginaplah di istanaku!” ucap Datu Lutang.
“Ya... lupakan saja janji dengan tukang-tukang kayu itu. Lebih nikmat tidur di istana. Lagi pula, makanan di meja masih banyak! Nyam, nyam,” sambung Kune sambil menggigit paha ayam cakar.
“Maafkan hamba, Datu! Hamba sebenarnya ingin sekali menginap di istana yang megah ini. Namun, hamba tidak biasa mengingkari janji,” ucap Opo Dawi.
Malam itu, Opo Dawi menginap di rumah tukang kayu. Keesokan harinya, ketika bangun tidur, Opo Dawi sangat terkejut!
“Selamat pagi, Opo Dawi! Hari ini, Opo diundang Datu ke istana. Opo Dawi akan dinobatkan menjadi Penasihat Datu di depan rakyat!” ucap tukang kayu.
“Lo, kau tahu dari mana? Mengapa kau memakai pakaian prajurit?” tanya Opo Dawi bingung.
Tukang kayu itu tersenyum. Lalu ia menjelaskan bahwa semua itu adalah siasat Datu Lutang. Datu menyuruh para pengawalnya menyamar menjadi perampok dan tukang kayu. Semua itu untuk menguji Opo Dawi dan Kune.
Ketika mendengar keputusan Datu Lutang, Kune kembali protes. “Tidak adil! Aku tidak kalah pandai dengan Opo Dawi. Mengapa ia yang dipilih?”
Datu Lutang lalu menjelaskan dengan bijaksana.
“Kune, kau memang pandai. Namun, Opo Dawi tidak hanya pandai. la juga bijaksana. la tidak serakah, tahu berterima kasih, dan selalu menepati janji. Itu sebabnya aku dan rakyat memilih Opo Dawi. la pasti akan menjadi penasihat yang baik!”
Mendengar ucapan Datu Lutang, Kune tertunduk malu. Ia kini mengerti, mengapa rakyat dan Datu Lutang lebih menyukai Opo Dawi . Ternyata “pintar” saja tidak cukup. Supaya disukai orang, ia tidak boleh serakah. la harus tahu berterima kasih dan menepati janji.
Di dalam hati, Kune berjanji akan memperbaiki kelakuannya.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Vanda Parengkuan.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR