Si Penakut. Itu julukan Meina dari teman-temannya karena dia memang selalu ketakutan. Dia takut gelap, anjing, kodok, kecoa, tikus, dan masih banyak lagi. Tapi terutama dia takut pada Geng Pemberani yang jahil dan suka menakut-nakuti dirinya dan teman sekelas yang lain.
Sialnya, pada darmawisata ke Ambon kali ini, Meina malah sekamar dengan Lisa, kepala Geng Pemberani. Dan, malam itu tak sengaja Meina memergoki Lisa dan Geng Pemberani mengambil saputangan sutra milik Diandra. Sayang, ia ketahuan Lisa. Lisa mengancam Meina jika berani mengadukan dirinya pada Diandra. Meina, si penakut, gemetar ketakutan.
Maka, benar saja. Di bawah sinar matahari Ambon, saat mereka sedang mengunjungi Monumen Martha Tiahahu, Diandra yang kepanasan sadar bahwa saputangannya hilang. Diandra menangis sedih karena saputangan sutra itu milik ibunya yang harus ia jaga baik-baik. Meina membuka mulut hendak memberitahunya, tetapi langsung terdiam melihat pandangan mengancam dari Lisa. Meina merasa sangat ketakutan dan tidak berdaya. Dipandangnya Monumen Martha Christina Tiahahu, monumen pahlawan wanita Indonesia yang tak gentar melawan Belanda.
“Oh, andai saja aku punya sepersepuluh keberanian Martha Tiahahu,” pikir Meina.
Tiba-tiba bunyi dentuman seperti menyelimuti Meina. Orang-orang Ramai berlarian di sekitarnya. Panas api dan matahari menerpanya. Meina mundur ketakutan.
“Ayo, Dik, jangan diam saja di situ!” tiba-tiba seorang gadis remaja berambut panjang dan berikat kepala merah menyambar tangannya. Mengajaknya berlari mencari perlindungan. Sambil berlari gadis itu menyambar anak perempuan lainnya dan turut mengajaknya berlindung. Meina dan anak itu disembunyikannya di sebuah semak lebat.
“Tunggu di sini,” perintahnya pendek sebelum pergi meninggalkan mereka. Meina melihat betapa gadis itu memberi arahan dan semangat kepada penduduk setempat melawan tentara Belanda.
“Betapa beraninya gadis itu,” bisik Meina kagum.
“Memang. Itu Kak Martha Christina Tiahahu. Putri dari desaku, Desa Abubu. Dia pemberani sekali. Katanya, “Kenapa mesti takut, membela negara itu membela kebenaran. Dan, kalau yang dibela itu kebenaran, jalan pasti terbuka. Mati pun tak masalah,” jawab anak di samping Meina dengan nada bangga.
“Kalau yang dibela itu kebenaran, jalan pasti terbuka. Mati pun tak masalah,” ulang Meina pelan.
Tiba-tiba, srek! Semak di belakang Meina terbuka. Muncul tangan seorang tentara Belanda dari balik semak itu.
“Awas!” Tanpa ragu, Meina menerjang ke depan, melindungi anak itu dari sang tentara. Bisa Meina rasakan tangan sang tentara itu merenggut bahunya. “Aaaah!” pekik Meina.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR