“Meina! Meina!” panggil Bu Ning, guru yang mengawasi darmawisata mereka. Meina membuka matanya. Teman-temannya, termasuk Diandra, Lisa, dan anggota Geng Pemberani, mengelilinginya.
“Kamu kenapa, Meina?” tanya Bu Ning cemas.
“Anu, Bu, ketiduran…” jawab Meina. Tak dipedulikannya suara tawa melecehkan dari Geng Pemberani. Ia masih mengingat jelas mimpinya bertemu Martha Christina Tiahahu.
“Ada-ada saja, kamu ini. Ayo berdiri, kita lanjutkan perjalanan,” ucap Bu Ning sambil berpaling pergi, meninggalkan Meina dengan Diandra dan Lisa yang masih cekikikan.
Tiba-tiba timbul keberanian dalam diri Meina. “Ayo kembalikan saputangan Diandra. Kalau tidak, aku beritahu Ibu Ning kalau kamu yang mengambilnya,” ujar Meina setegas mungkin.
“Oh ya? Kalau kamu berani bilang, aku masukkan kodok ke dalam selimutmu di kamar,” ancam Lisa.
“Masukkan saja kalau berani,” sahut Meina dengan mata dan suara semantap mungkin, biarpun kakinya sudah lemas membayangkan kodok licin di dalam selimutnya. Dipelototinya Lisa dengan segarang mungkin.
“Huh!” hanya itu yang terlontar dari Lisa saat ia membalikkan badannya. Namun, belakangan Meina tahu, Lisa mengembalikan saputangan Diandra. Sejak itu, Geng Pemberani tidak pernah menjahilinya lagi.
Sejak itu, jika takut, diingatnya lagi suara dan genggaman mantap Si Pemberani, Martha Christina Tiahahu. Maka, keberaniannya pun timbul.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Pradikha Bestari.
Terbit Hari Ini, Mengenal Dongeng Seru dari Nusantara di Majalah Bobo Edisi 35, yuk!
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR