Di sebuah desa di wilayah kerajaan Raja Moris, hiduplah Kakek Pavlos yang sebatang kara. Setelah lelah mencabut rumput untuk makanan ternak, ia beristirahat di tepi sungai. Karena lapar, Kakek Pavlos mengeluarkan bekal rotinya.
Sayangnya, ketika ia akan memakan rotinya, tiba-tiba saja muncul seekor anjing yang menyambar rotinya. Anjing itu lalu berlari melintasi padang rumput.
Kakek Pavlos sangat kesal. Ia mengejar si anjing sekuat tenaga. Anjing itu terus berlari masuk ke hutan melewati pepohonan lebat. Kakek Pavlos tak mau menyerah.
Di tengah hutan, anjing itu tampak berlari masuk ke sebuah pintu aneh di sebatang pohon. Kakek Pavlos terus mengikuti si anjing. Ia pun masuk menembus pintu aneh itu. Ternyata, di balik pintu itu, terdapat jalan rahasia. Kakek Pavlos sangat terkejut. Ia terus melangkah dan menemukan sebuah tangga ke bawah tanah. Perlahan, Kakek Pavlos menuruni anak tangga yang cukup banyak, jauh masuk ke bawah tanah.
Akhirnya, tibalah dia di depan sebuah istana megah. Istana di bawah tanah. Di depan istana itu, terdapat sebuah kolam dengan air mancur.
Kakek Pavlos mendekat dan mengintip ke dalam istana. Di ruangan tengah, tampak sebuah aula besar yang di tengahnya ada meja panjang. Di sekeliling meja, terdapat dua belas kursi kayu berukir indah.
Kakek Pavlos mengendap masuk dan bersembunyi di belakang tiang besar. Dari sana, ia bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi.
Tiba-tiba, terdengar bunyi kepakan sayap yang sangat ribut. Kakek Pavlos memberanikan diri mengintip. Ia sangat terkejut ketika melihat dua belas elang terbang di halaman istana itu. Mereka pasti masuk melalui pintu rahasia itu, pikir Kakek Pavlos. Elang-elang itu mendarat di dalam kolam air mancur di taman. Mereka mandi beberapa saat.
Tak lama kemudian, tubuh elang-elang itu seperti berasap. Kakek Pavlos semakin penasaran. Hewan-hewan itu tiba-tiba berubah menjadi dua belas pemuda tampan.
Sekarang mereka duduk mengelilingi meja. Salah satu dari mereka mengambil gelas minuman dan berkata, “Mari kita makan dan minum, untuk mengenang Ayah!”
Pemuda yang lain berkata, “Untuk mengenang Ibu!”
Salah satu dari mereka kemudian berkata, “Untuk mengenang seorang wanita cantik. Semoga ia bahagia selalu. Betapa kejamnya orang yang membakar cangkang kepiting emas milikku!” Pemuda itu lalu menangis tersedu-sedu. Dialah Pangeran Adonis. Karena sihir, ia tak ingat nama Putri Aleka, sehingga tak bisa kembali pada istrinya itu.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR