Museum itu tampak sepi. Terlihat begitu kuno dan angker. Diam-diam Lusi merinding juga memandanginya. Namun, abangnya, Cipto, sudah berjalan menuju pintu utamanya. Yah, terpaksa Lusi mengikutinya. Museum itu berisi peninggalan Kerajaan Bangkalan, pusaka-pusaka kuno, gamelan kuno, dan lain sebagainya.
Lusi tidak heran saat mendengar berbagai cerita seram tentang benda-benda kuno itu. Konon ada gamelan yang suka berbunyi sendiri setiap malam Jumat legi. Juga sering ada penampakan Raja dan Ratu Bangkalan. Ah, Madura memang misterius. Ini pertama kalinya Lusi dan Cipto berlibur ke rumah paman mereka di Madura.
Mereka sampai ke ruang gamelan. Lusi memandang gamelan berhantu itu dengan ngeri. Sebaliknya, Cipto malah bersemangat sekali memeriksa set gamelan itu secara teliti!
“Mas, kita pergi saja, yuk,” rengek Lusi. Apa boleh buat, dia sudah sangat ketakutan. Melihat adiknya sudah pucat ketakutan, Cipto mengiyakan.
Seharian itu, Cipto tampak memikirkan sesuatu di ruang tamu rumah pamannya.
“Lus, aku curiga, deh. Kenapa gamelan ini harus berbunyi setiap malam Jumat legi. Pasti ada apa-apanya. Mungkin ada penjahat yang sengaja membunyikan gamelan ini supaya orang-orang menjauh setiap malam Jumat legi. Lalu penjahat itu bisa leluasa memakai ruangan itu tanpa ada orang yang tahu,” ucap Cipto panjang lebar.
“Hah? Aduh… itu, kan, cerita detektif yang sering Mas Cipto baca. Enggak mungkin terjadi di dunia nyata!” tukas Lusi sambil geleng-geleng kepala.
“Tapi, kan, hantu itu enggak ada. Pasti yang memainkan gamelannya itu manusia! Eh, kebetulan malam ini malam Jumat legi, lo,” kata Mas Cipto sambil menunjuk kalender meja. “Terus?” tanya Lusi curiga.
“Kan, katanya gamelannya bunyi sendiri setiap malam Jumat legi. Malam ini kita ke sana diamdiam, yuk,” ajak Mas Cipto.
“Ha?? Gak mau!” tukas Lusi.
* * *
Bayang-bayang malam membuat Museum Cakraningrat tampak semakin mengerikan. Lusi nyaris tidak percaya dia berhasil dibujuk Cipto untuk menunggui gamelan berhantu itu berbunyi. Kini ia menggigil ketakutan sementara Cipto tampak menaburkan sesuatu pada gamelan itu.
“Masuk sini, jangan berisik,” bisik Cipto sambil membuka lemari pendek di dalam ruangan itu. Pasrah, Lusi pun bersembunyi di dalam lemari itu bersama Mas Cipto. Di dalam situ gelap dan pengap.
“Mas, pulang saja, yuk…” rengek Lusi. “Sst.. pulang bagaimana, gamelannya belum bunyi, nih,” bisik Cipto.
“Aduh, justru itu, aku enggak mau lihat hantu,” sahut Lusi kesal.
“Sst… hantu itu enggak ada. Ini pasti penjahat!” sanggah Cipto.
“Terserahlah, aku enggak mau ketemu hantu atau penjahat ata…”
KLOTAK! Deg! Lusi langsung terdiam. Dengan hati-hati Cipto mengintip ke luar. Sesosok bayangan kecil tampak mendekati gamelan. Tangan dingin Lusi refleks meremas tangan kakaknya.
“Ting..ting..” mulai terdengar bunyi gamelan. Bunyinya membuat Lusi merinding.
Tiba-tiba terdengar suara lain.
“Hatsyi!!” Lo, hantu, kok, bersin? Sebelum Lusi bisa mencegah, Cipto sudah keluar dari lemari kecil itu.
“Siapa kamu? Kenapa memainkan gamelan ini?” tanya Cipto langsung sambil menyorotkan senternya.
Sesosok bayangan itu mengangkat kepala dengan terkejut. “Ampuun!” pekik sosok bayangan yang ternyata adalah anak kecil. Dia sama sekali bukan penjahat atau hantu Ratu Bangkalan, melainkan anak kecil seumuran Lusi! Rupanya, Cipto tadi menaburkan merica di gamelan itu. Logikanya, hantu, kan, tidak mungkin bersin gara-gara merica.
Anak itu kemudian bercerita. Namanya Tiko. Ayahnya dulu sangat menyukai barang-barang peninggalan Kerajaan Bangkalan, terutama set gamelannya. Sebelum ia meninggal sebulan lalu pada malam Jumat legi, ayah Tiko mengatakan ia ingin sekali mendengar gamelan itu dimainkan. Karena itulah Tiko selalu datang memainkan gamelan pada malam Jumat legi.
Tak terasa air mata Lusi meleleh mendengar cerita sedih itu.
“Hei, siapa di situ?”
Tiba-tiba terdengar suara bentakan diiringi dengan sinar senter yang menyoroti mereka. Ternyata itu Pak Damas, juru kunci Museum Bangkalan. Setelah dijelaskan apa yang terjadi, Pak Damas mengizinkan dan akan menemani Tiko bermain gamelan kapan pun dia mau.
* * *
“Tuh, kan, Lus, enggak ada yang namanya hantu!” ucap Cipto dengan nada bangga, seakan baru membuktikan sesuatu yang ilmiah. Mereka sedang dalam perjalanan pulang ditemani Pak Damas.
“Iya, iya, tapi bukan penjahat juga, kan?” sungut Lusi.
Pak Damas mendengar percakapan mereka sambil merenung. Ayah Tiko baru meninggal sebulan yang lalu. Berarti baru sebulan lalu pulalah Tiko rajin memainkan gamelan setiap malam Jumat legi. Sedangkan gamelan itu sudah berbunyi sendiri sejak bertahun-tahun lalu. Siapa pula yang membunyikannya?
“Ting,” di kejauhan sayup terdengar bunyi gamelan.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Pradikha Bestari.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR