“Wul, kamu belum bayar iuran buat beli kado ultah Dody," ujar Nina.
"Oh, iya!"
Wulan merogoh uang di tasnya, dan memberikan semua pada Nina.
"Eh, itu busku! Aku duluan, ya, Nin!"pamit Wulan.
"Tumben kamu naik bus? Hati-hati, ya, banyak copet!" ujar Nina sesaat sebelum Wulan naik ke bisnya.
Memang baru kali ini Wulan naik bus sendirian. Hari ini ia tidak dijemput sebab sopirnya sakit. Ah, Wulan melihat ada dua kursi kosong bersebelahan. Ia pun duduk di situ. Seorang lelaki mengikutinya dan duduk di sampingnya.
Deg! Jantung Wulan berdetak kencang. Lelaki itu sangat menyeramkan. Berambut gondrong, bertopi, berjaket kulit, dan berkacamata hitam. Ada plester pula di pipinya dan tato naga di punggung tangannya. Wulan makin takut. Terbayang olehnya berita-berita tentang penodongan di bus kota.
"Ongkos.. .ongkos...!!" Wulan kaget. Dia merogoh-rogoh tasnya.
"Aduuuh, di mana, sih, uangku?" batin Wulan.
Astaga! Tadi ia telah memberikan semua uangnya pada Nina untuk beli kado ultah Dody. Wulan lupa kalau ia harus naik bus. Keringat dingin mulai keluar di tubuh Wulan, sementara Pak Kondektur sudah mulai tak sabar.
"U...uang saya ke...ting...galan," kata Wulan terbata-bata.
"Ketinggalan gimana?" Kondektur itu mulai marah. "Enak saja, kamu! Nggak mau bayar, ya!" Tahu-tahu lelaki di samping Wulan mengeluarkan dua lembar uang seribuan.
"Biar saya saja yang bayar," katanya dengan suara serak.
Pak Kondektur menerima uang itu dengan kesal dan meninggalkan mereka. Karena gugupnya, Wulan sampai lupa berterima kasih pada lelaki di sampingnya.
Wulan heran, kenapa lelaki itu begitu baik dan mau membayari ongkos busnya. Padahal Wulan tak kenal sama sekali.
"Astaga, jangan-jangan..." Melintas kembali pikiran buruk di benaknya.
"Jangan-jangan lelaki ini mau menculikku. Dia membayariku supaya aku tidak curiga padanya."
Jantung Wulan kembali berdegup kencang. Baru saja kemarin ia baca berita di koran tentang aksi penculikan anak-anak.
Seingat Wulan, lelaki ini tadi juga naik dari sekolahnya. Jangan-jangan dia memang telah mengawasi Wulan sejak tadi. Wulan memandang ke luar jendela. Ups, hampir saja terlewat! Dia sudah harus segera turun. Wulan berdiri. Lelaki itu juga berdiri untuk memberi jalan. Tapi, astaga! Ternyata dia juga ikut turun. Wulan masih harus berjalan sekitar 500 meter untuk menuju ke rumahnya. Cepat-cepat ia melangkah menyusuri jalan kecil. Wulan berusaha menenangkan diri. Namun saat ia menoleh, lelaki tadi ternyata masih mengikutinya.
Kali ini Wulan benar-benar takut. Dengan panik ia mempercepat langkah kakinya. Tapi, lelaki itu pun semakin dekat. Kini dia mulai berlari sambil sesekali menoleh ke belakang.
Bruk! Karena kurang hati-hati, kaki Wulan tersandung batu dan ia terjatuh. Lelaki itu berusaha mendekatinya. Tapi, Wulan buru-buru bangkit dan berlari sekuat tenaga. Ia tak peduli lagi pada lututnya yang perih berdarah. Akhirnya Wulan tiba juga di rumahnya. Ia segera berlari masuk dan menubruk ibunya yang sedang mengatur meja makan. Wulan hampir menangis.
"Wulan, kamu kenapa?" tanya Ibu heran.
"Mana Mas Dewo?" Wulan memandang ibunya.
"Mas Dewo?"
"lya. Tadi Ibu khawatir karena kamu belum pernah naik bus sendirian. Jadi, Ibu telepon Mas Dewo, minta tolong menjemputmu."
"Permisiii..." Belum selesai Ibu bercerita, terdengar ketukan di pintu depan. Ibu membuka pintu dan melihat lelaki yang tadi mengikuti Wulan.
"Ya? Mau cari siapa?" tanya Ibu.
"Cari Wulan, Tante."
"Tante?"
Tiba-tiba lelaki itu tertawa. Dibukanya kacamata hitam dan topinya. Kemudian ditariknya rambutnya hati-hati. Oh, ternyata ia memakai wig. Lalu, dibukanya pula plester yang menempel di pipinya. Ternyata, tak ada bekas luka apapun di sana.
“Astaga, Dewo!" seru Ibu heran.
"Apa-apaan kamu ini? Kenapa berdandan seperti ini?" Wulan pun melongo.
"Mas Dewo!" serunya. Mas Dewo masih tertawa.
"Gimana? Oke, kan, penyamaran dan aktingku? Tadi ibumu menyuruhku menjemputmu. Kamu, kan, sudah besar, Wul, jadi aku cukup mengawasimu. Kupikir pasti asyik kalau aku menyamar, sekalian latihan!"
Mas Dewo adalah sepupu Wulan yang kuliah di Institut Seni jurusan teater. Rupanya kali ini dia ingin mempraktekkan ilmunya. Ah, Mas Dewo memang suka aneh-aneh.
"Mas Dewo jahat! Lihat, nih!" seru Wulan sambil menunjuk lututnya yang terasa perih kembali.
"Maaf. Sebenarnya aku tadi mau menolongmu, tapi kamu malah lari. Maaf, ya, Wul..." rayu Mas Dewo.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Veronica Widyastuti.
Jangan Sampai Salah, Ini Ciri Keju yang Masih Aman di Makan dan yang Harus Dihindari
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR