Leopold mengambil pedang pajangan di ruangan itu dengan ragu-ragu. Ia lalu menusukkan pedang pelan-pelan ke arah Magia. Namun, di depan Magia seperti ada dinding yang tak terlihat. Pedang itu tak dapat menembusnya. Magia tertawa, “Tusuklah lebih keras!”
Leopold mencoba menusuk lebih keras. Namun ujung pedang malah menjadi bengkok. Magia lalu memindahkan cincin ke jari telunjuknya. Seketika dia menghilang dari tempat itu dan tiba-tiba muncul di samping Leopold sambil tertawa.
“Bolehkah aku mencoba cincin itu?” tanya Leopold. "Aku ingin melihat sendiri keajaibannya!”
Magia tidak curiga. Ia memberikan cincin ajaib itu pada Leopold.
“Aku harus meletakkan cincin ini di jari mana, supaya tidak ada senjata yang bisa melukaiku?” tanya Leopold pura-pura lupa.
"Oh, di jari tengah tangan kirimu," jawab Magia sambil mengambil pedang. Ia lalu menyerang Leopold. Namun di depan tubuh Leopold seperti ada tembok yang tak terlihat sehingga tak dapat diserang.
“Apakah cincin ini juga bisa membelah batu besar?” tanya Leopold.
“Tentu saja bisa. Ayo, kita coba pecahkan batu besar di halaman,” ajak Magia.
Di halaman kastilnya, Magia menunjukkan cara memecahkan batu. Leopold mengulurkan pukulan tinjunya ke depan batu besar. Sungguh ajaib! Dengan satu pukulan tinju, batu itu rontok ke tanah menjadi seribu keping.
“Ha ha ha… sekarang kau baru tahu kehebatan cincin ini, kan?” tawa Magia.
Pada saat itu, Leopold memindahkan cincin itu ke jari ketiga tangan kirinya. Dalam sekejab mata, ia menghilang dari depan Magia.
“Leopold… dimana kau? Cepat lepas cincin itu!” seru Magia mulai khawatir.
Leopold malah melangkah lebih jauh, lalu memindahkan cincin itu ke jari kelingking tangan kirinya. Seketika itu juga ia melayang ke udara seperti burung. Ketika Magia melihat Leopold yang terbang menjauh, sadarlah Magia kalau ia telah ditipu. Betapa marahnya gadis penyihir itu.
“Lihat saja! Akan kubalas perbuatanmu!” teriak Magia marah.
(Bersambung)
Adaptasi cerita oleh: L. Olivia
Source | : | dongeng bobo,dongeng Eropa |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR