Akhirnya kami mengaku kepada Pak Hidayat, bahwa kami telah mengambil kue bulan dari altar di wihara. Tentu saja kami dimarahi habis-habisan. Biarpun kami berbeda kepercayaan dengan orang-orang yang sembahyang di wihara itu, kami tidak boleh mengambil barang yang bukan milik kami. Kami terpaksa membeli kue bulan dengan uang jajan kami sendiri. Malamnya Pak Hidayat mengantar kami ke wihara untuk mengembalikan kue bulan. Keluar dari wihara, seorang kakek berbaju hitam menghampiri kami. Wuaaaahh… aku dan Rado sudah siap-siap mau kabur, tetapi kakek itu memanggil kami.
“Maaf, Dik, ini waktu kalian ke wihara tadi pagi, ada yang menjatuhkan jam tangan,” ujarnya sambil mengulurkan jam tanganku.
Aku terkejut, kuraba kantungku. Jam tanganku yang talinya rusak memang sudah tidak ada di dalam kantungku.
Kakek itu lalu meneruskan penjelasannya dengan logat Sunda kental,
“Saya dari tadi mengejar adik-adik ini, mau mengembalikan jam. Kakek ke kebun raya, ke pasar Bogor, tetapi telisipan terus. Untung adik kembali lagi ke sini.”
Aku dan Rado berpandangan. Oooh… yang dari tadi menghantui kami itu si kakek yang mau mengembalikan jam, bukan Kakek Suryakencana.
Aku mengantungi jamku dengan perasaan lega. Kami pun kembali ke hotel tempat kami menginap. Namun, sesuatu terasa mengusikku. Kakek itu, kan, hanya pergi ke kebun raya dan ke pasar Bogor. Lalu siapa kakek yang menghantui kami di Istana Bogor?
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Pradikha Bestari.
Terbit Hari Ini, Mengenal Dongeng Seru dari Nusantara di Majalah Bobo Edisi 35, yuk!
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR