Kakek itu menatapku dengan tajam. Perasaanku jadi tidak enak. Udara juga mendadak menjadi dingin.
“May, lihat deh, kakek di pojok itu kenapa, sih? Melotot ke sini terus,” bisikku kepada Maya, teman sebangkuku di kelas 5A.
Maya menjulurkan lehernya, berusaha melihat lebih jelas ke arah pojok ruangan Istana Bogor yang dipadati teman-teman sekolahku. Kami memang sedang berdarmawisata ke Bogor.
“Enggak ada kakek-kakek, kok,” jawab Maya.
“Adaaa itu di…” Aku terdiam.
Maya benar. Kakek berbaju hitam ala orang Sunda zaman dulu itu sudah menghilang. Aku menelan ludah. Dari tadi sejak di Pasar Bogor dan Kebun Raya Bogor, kakek itu selalu ada, mengamatiku dengan mata tajam. Namun, jika aku mengalihkan pandangan sebentar, kakek itu lalu hilang!
Hiii…
Usai mengunjungi Istana Bogor, kami beristirahat sore di tempat asinan. Rado, sahabatku dari kelas 5B datang menghampiri.
“Onti,” panggilnya gelisah.
“Kamu dari tadi dipelototin kakek-kakek, gak?”
Aku nyaris tersedak jus jerukku, mendengarnya. Ternyata Rado juga mengalaminya!
Kejadian yang dialami Rado malah lebih seram. Di Istana Bogor tadi, ia pergi ke kamar kecil. Mendadak lampu kamar kecil itu mati! Rado yang panik, meraba-raba gagang pintu, dan ternyata pintu itu tidak bisa dibuka.
Tiba-tiba Rado mendengar suara deheman kecil di sudut kamar kecil. Dan, saat Rado menoleh ke sudut itu, tampak sesosok samar kakek berbaju hitam melotot ke arahnya. Wuaaaahhh… untung saat itu pintu kamar kecil bisa terbuka. Rado langsung berlari keluar.
Aku dan Rado berpandangan dengan ketakutan. Siapakah kakek-kakek itu?
“Wah ceritanya menarik sekali, Pak. Jadi, sampai sekarang penduduk masih memuja Kakek Suryakencana, ya?” Ucapan ‘kakek’ dari mulut Lisa di meja sebelah seketika membuat aku dan Rado tertarik.
“Kakek siapa, Lis?” tanya Rado langsung.
“Kakek Suryakencana, Rado,” sahut Pak Hidayat, guru sejarah, yang sedang mengobrol dengan Lisa.
“Siapa dia?” tanyaku lagi.
“Kakek Suryakencana itu orang sakti. Kabarnya dulu dia itu putra pendiri Cianjur. Ia dulu berkuasa di daerah Bogor, Cianjur, Gunung Gede, seluruh tataran Sunda.
Konon beliaulah yang menjaga agar Gunung Gede tidak meletus. Untuk menghormatinya, orang Cina yang berdoa di klenteng membuat altar persembahan khusus untuknya. Tadi kita sudah ke sana, kan,” jelas Pak Hidayat.
“Iya, yang tadi ada kue bulan bertumpuk-tumpuk itu, lo. Ada jeruk dan klengkeng juga. Kayaknya enak-enak banget,” celoteh Lisa, tanpa sadar bahwa wajahku dan Rado memucat. Sepertinya kami mulai tahu apa yang sedang terjadi…
Tadi pagi sebelum kami pergi ke Istana Bogor, kami memang mampir dulu ke Klenteng Hok Tek Bio atau Wihara Dhanagun. Kami terpesona melihat altar persembahan yang dipenuhi makanan enak-enak. Lalu Rado mengajakku melihat kue bulan. Kue itu terlihat enak sekali. Kami tidak berani mengambil yang dari altar utama. Makanya kami lalu mengambil kue dari altar di ruangan di sebelah kiri ruangan utama. Altar yang menurut Lisa dan Pak Hidayat, altarnya Kakek Suryakencana.
“Do, jangan-jangan kakek-kakek melotot itu…” ucapku ragu-ragu.
“Kakek Suryakencana! Beliau marah karena kita ambil kue bulannya! Hiiiii…,” sambung Rado panik.
Akhirnya kami mengaku kepada Pak Hidayat, bahwa kami telah mengambil kue bulan dari altar di wihara. Tentu saja kami dimarahi habis-habisan. Biarpun kami berbeda kepercayaan dengan orang-orang yang sembahyang di wihara itu, kami tidak boleh mengambil barang yang bukan milik kami. Kami terpaksa membeli kue bulan dengan uang jajan kami sendiri. Malamnya Pak Hidayat mengantar kami ke wihara untuk mengembalikan kue bulan. Keluar dari wihara, seorang kakek berbaju hitam menghampiri kami. Wuaaaahh… aku dan Rado sudah siap-siap mau kabur, tetapi kakek itu memanggil kami.
“Maaf, Dik, ini waktu kalian ke wihara tadi pagi, ada yang menjatuhkan jam tangan,” ujarnya sambil mengulurkan jam tanganku.
Aku terkejut, kuraba kantungku. Jam tanganku yang talinya rusak memang sudah tidak ada di dalam kantungku.
Kakek itu lalu meneruskan penjelasannya dengan logat Sunda kental,
“Saya dari tadi mengejar adik-adik ini, mau mengembalikan jam. Kakek ke kebun raya, ke pasar Bogor, tetapi telisipan terus. Untung adik kembali lagi ke sini.”
Aku dan Rado berpandangan. Oooh… yang dari tadi menghantui kami itu si kakek yang mau mengembalikan jam, bukan Kakek Suryakencana.
Aku mengantungi jamku dengan perasaan lega. Kami pun kembali ke hotel tempat kami menginap. Namun, sesuatu terasa mengusikku. Kakek itu, kan, hanya pergi ke kebun raya dan ke pasar Bogor. Lalu siapa kakek yang menghantui kami di Istana Bogor?
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Pradikha Bestari.
Terbit Hari Ini, Mengenal Dongeng Seru dari Nusantara di Majalah Bobo Edisi 35, yuk!
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR