“Bagaimana dengan pelayanannya, Sao Chan?”
“Sama saja. Bahkan, tadi aku harus menunggu lama. Ayahmu lebih cekatan, Lui Ming.”
“Anak-anak, kelihatannya perundingan kalian seru sekali. Agar pikiran lebih jernih, ayo, silakan dicicipi mi-nya,” kata Co Ming.
“Wah, terima kasih! Paman baik sekali!” sambut Sao Chan gembira.
“Nah, benar, kan, kataku?” komentar Ming Tan beberapa saat kemudian. “Mi buatan ayah Lui Ming lebih enak.”
“Kalau begitu, kita coba strategi kita,” kata Sao Chan.
Keesokan harinya, Co Ming sedang membereskan warungnya seperti biasa. Hari itu dia tidak banyak berharap warungnya akan laris. Benar saja! Sampai tengah hari, tidak sampai sepuluh orang yang makan di warung Co Ming. Berbeda dengan warung Sa Mao di ujung jalan yang ramai pembeli.
Tapi, lewat tengah hari, Lui Ming datang bersama teman-temannya. Mereka memesan mi masing-masing satu mangkuk. Warung mi Co Ming jadi penuh. Setelah makan, satu persatu anak itu meninggalkan warung Co Ming. Tapi, tahu-tahu mereka kembali lagi dengan baju berbeda. Wah, apa yang mereka lakukan, ya?
“Paman, aku pesan mi satu lagi!” seru Sao Chan.
“Aku ingin kuahnya lebih banyak, Paman!” Min Tan tak mau kalah.
Orang-orang yang melihat kehebohan warung Co Ming menjadi penasaran. Mereka ikut membeli mi di warung Co Ming. Lui Ming dan ayahnya sampai kewalahan.
“Wah, ternyata mi di sini sangat enak, ya!”
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR