Di kerajaan Ros tinggalah Raja Ros dan permaisurinya di istana yang indah. Sehari-hari mereka merasa kesepian karena tidak mempunyai anak.
Pada suatu hari, lewatlah dua kakek tua di depan istana itu. Yang satu bertubuh gemuk, yang satu tinggi kurus. Mereka berhenti di depan istana dan bercakap.
“Apakah kau tahu, siapa yang tinggal di istana itu?” tanya Kakek Gemuk.
“Seorang raja dan istrinya. Mereka belum punya anak,” kata Kakek Kurus.
“Ah, andai saja mereka tahu ramuan untuk mempunyai anak. Ratu harus meminum secangkir embun dari kelopak bunga lili, yang dikumpulkan di pagi hari, yang dicampurkan dengan kelopak bunga-bunga kering. Jika Ratu rajin meminumnya, maka dalam setahun, mereka akan punya bayi cantik dan mereka akan bahagia,” kata Kakek Gemuk.
“Aku juga tahu ramuan itu, sahabatku. Tapi, bukankah kebahagiaan dari ramuan itu tidak akan lama. Semua yang lahir dari bunga, akan kembali menjadi bunga. Ketika waktunya tiba, anak dari ratu itu akan kembali menjadi bunga lagi,” kata Kakek Kurus.
“Ya, ya… kau betul. Jadi, sebaiknya tak ada yang tahu soal ramuan itu. Ratu pun sebaiknya tidak tahu, karena itu hanya akan membuat dia menjadi sedih,” katak Kakek Gemuk. Keduanya lalu meneruskan perjalanan mereka.
Kedua kakek itu berpikir tak ada yang mendengar percakapan mereka. Namun, ternyata ada seorang pengemis wanita yang duduk di gerbang kastil mendengarnya. Pengemis itu langsung lari menemui Ratu dan menyampaikan berita itu.
“Kalau Ratu meminum secangkir embun dari kelopak bunga lili yang dikumpul setiap pagi, lalu mencampurkannya dengan bunga-bunga kering, maka Ratu akan melahirkan seorang bayi cantik,” kata pengemis itu para ratu.
Wanita tua itu lalu diam, tidak menceritakan apa yang terjadi selanjutnya dengan ramuan itu. Namun, kalaupun ia menceritakannya, ratu pasti tak ingin mendengarnya lagi. Ratu tampak sangat gembira dan langsung memberi pengemis wanita itu sekantung emas.
Ratu lalu tampak sibuk menyuruh para pelayannya untuk mengambil embun pagi di kelopak bunga lili. Juga menyuruh mereka mengumpulkan bunga-bunga kering.
Nasihat kedua kakek itu ternyata betul-betul terjadi. Setahun kemudian, Ratu melahirkan seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Karena ia lahir dari bunga lili dan bunga-bunga kering, maka kulitnya seputih lili dan rambutnya sewangi bunga-bunga kering. Ratu menamakannya Putri Lili.
Kecantikannya terus bertambah setelah ia tumbuh dewasa. Putri Lili lebih suka tinggal menyepi di taman. Ia menghindari keramaian. Ia merasa lebih nyaman ketika berjalan di antara bunga-bunga. Putri Lili selalu berbicara pada bunga-bunga, dan sepertinya bunga-bunga membalas sapaannya.
Tahun-tahun terus berlalu. Raja Ros dan Ratu berusaha mencari suami yang terbaik untuk putri mereka. Dan karena Putri Lili sangat cantik, banyak pangeran yang ingin melamarnya.
Akan tetapi, Putri Lili tak ingin menikah. Ia memang ramah pada semua pangeran. Namun ketika mereka melamarnya, maka sang putri akan berkata,
“Aku tak bisa menikah denganmu, Pangeran. Kau tak akan bahagia jika hidup bersama aku.”
Putri Lili selalu berkata dengan sedih dan jujur. Semua pangeran percaya padanya dan tidak jadi melamarnya. Akhirnya, tidak ada lagi pangeran yang datang ke kastil Raja Ros dan Ratu. Putri Lili merasa sangat bahagia, namun sebaliknya, Raja Ros dan Ratu sangat sedih.
“Apa yang terjadi nanti kalau kita meninggal. Lili akan sendirian di kastil ini tanpa suami,” kata Raja Ros pada istrinya.
Suatu hari, datanglah seorang pangeran dari negeri yang jauh. Namanya Pangeran Dandro. Putri Lili menyambutnya dengan ramah. Mereka bercakap-cakap dan menjadi sangat akrab. Namun, ketika Pangeran Dandro melamarnya, Putri Lli berkata,
“Jangan melamarku, Pangeran. Kau tak akan bahagia jika hidup bersama aku.”
Putri Lili berkata dengan tulus seperti pada pangeran lainnya. Biasanya para pangeran langsung percaya pada ucapannya. Namun Pangeran Dandro tidak menyerah. Ia bertanya,
“Kenapa aku tidak akan bahagia bersamamu?”
“Karena bunga-bunga lili di taman istana pernah berkata padaku. Kata mereka, pada saat aku memakai gaun pernikahanku, waktuku akan tiba. Dan bunga-bunga kering di tanah taman berkata, ketika aku memakai hiasan bunga di kepalaku, maka aku akan berubah menjadi bunga dan tinggal bersama mereka.”
Saat mendengar perkataan Putri Lili, Pangeran Dandro tertawa.
“Aku tidak percaya pada ucapan bunga-bunga itu, Putri,” katanya.
Putri Lili sangat sedih mendengar ucapan itu. Ia menjawab,
“Kalau kau tak percaya, cobalah. Tapi aku sudah memberimu peringatan. Jadi, mulai sekarang, apa yang harus terjadi, biarlah terjadi!”
Maka, kastil pun mulai dihias untuk persiapan pesta. Betapa gembira Raja Ros dan istrinya. Para penjahit menjahit gaun pernikahan yang terindah untuk Putri Lili. Tukang taman merangkai bunga terindah untuk hiasan di sekeliling kepala sang putri.
Di hari pernikahan, para tamu pun berdatangan. Gaun pernikahan dan rangkaian bunga hiasan rambut untuk Putri Lili sudah disiapkan untuk upacara pernikahan. Namun, ketika mereka memakaikan Putri Lili gaun pernikahan, wajah sang putri perlahan berubah menjadi pucat.
Putri Lili mulai menangis sedih. Ketika rangkaian bunga hiasan rambut dipasang di kepalanya, Putri Lili menutup matanya.
“Waktu kematianku sudah tiba…” bisiknya pada diri sendiri.
Ketika Pangeran Dandro menggandeng tangannya, tiba-tiba ia berubah menjadi bunga putih yang sederhana. Pangeran Dandro menangis sedih karena baru sadar kalau Putri Lili telah berkata yang sebenarnya. Namun semuanya terlambat, karena ia telah kehilangan Putri Lili. Pangeran Dandro akhirnya kembali ke kerajaannya. Bukannya membawa pengantin wanita, ia membawa sekuntum bunga putih yang harum itu.
Sampai hari ini, bunga itu mudah ditemukan, karena tumbuh di padang rumput, di ladang, atau di tepi jalan. Orang-orang menamakannya chamomile. Sebetulnya, bunga itu berasal dari Putri Lili yang memakai gaun pengantin putih, dan kepalanya yang berambut keemasan, berhias rangkaian bunga.
Teks: Dok. Majalah Bobo / Adaptasi Legenda dari Eropa
Terbit Hari Ini, Mengenal Dongeng Seru dari Nusantara di Majalah Bobo Edisi 35, yuk!
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR