Bobo.id – Tahukah teman-teman? Sejak zaman nenek moyang, saga rambat atau Abrus precatorius sudah terkenal dan dimanfaatkan sebagai obat tradisional.
Saga rambat termasuk jenis tumbuhan perdu yang daunya sering dijadikan obat sariawan dan obat alami untuk sakit gigi.
Daunnya dapat mengobati sariawan karena daun saga rambat ini mengandung glycyrrhizin yang memiliki kemampuan pencegah radang.
Selain dijadikan sebagai obat untuk sariawan dan sakit gigi, daun saga rambat juga dapat dijadikan sebagai obat pencuci mata.
BACA JUGA: Tanaman ini Sering Dijadikan Sayur dan Emping, Tanaman Apakah itu?
Bahaya dari Biji Saga Rambat
Biasanya biji saga rambat sering dijadikan sebagai bahan kerajinan tangan, seperti mata boneka, kalung, gelang, dan lainnya.
Tapi, kita harus berhati-hati terhadap biji saga rambat yang berwarna merah dengan bintik hitam ini.
Bila biji saga termakan dapat menimbulkan gejala keracunan, seperti mual, muntah, dan kejang-kejang, dan bahkan kematian.
BACA JUGA: Tanaman Kecapi, Tanaman Khas Betawi yang Banyak Manfaat dan Langka
Berbeda dengan Saga Pohon
Saga rambat atau Abrus precatorius ini berbeda dengan saga pohon atau Adenanthera pavonina.
Nah, karena banyak orang yang sering keliru dengan kedua jenis tanaman ini, bagaimana cara membedakannya?
Biasanya saga pohon dapat tumbuh mecapai 30 meter sedangkan saga rambat tumbuh secara merambat.
Jika biji saga rambat beracun, biji saga pohon justru dapat dikonsumsi dan mengandung protein yang tinggi.
Biji saga rambat dan biji saga pohon juga memiliki penampilan yang berbeda.
Jika biji saga rambat terdapat bintik hitam, biji saga pohon berwarna merah polos tanpa ada warna lainnya.
Selain itu, masyarakat Indonesia mengenal saga rambat sebagai obat rematik, sariawan, sakit kepala, dan sakit perut.
Nah, sudah tahu bukan perbedaan saga rambat dan saga pohon?
BACA JUGA: Acai, Tanaman Endemik Negeri Samba
Lihat video ini juga, yuk!
15 Dampak Positif Globalisasi bagi Kesenian Daerah, Materi Kelas 6 SD Kurikulum Merdeka
Penulis | : | Felixia Amanda |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR