Roni cepat-cepat masuk ke kamarnya ketika mendengar motor ayahnya memasuki halaman rumah. Hari ini ia memang tidak mau menyambut ayah dan ibunya pulang dari kantor.
Roni teringat ia menempelkan sesuatu di dinding ruang makan.
Terdengar langkah-langkah memasuki rumah. Bunyi sepatu Ayah yang berdebum berat dan suara tok tok tok sepatu Ibu terdengar jelas oleh Roni.
“Roni mana, Sin?” tanya Ibu.
“Di kamarnya, Bu,” jawab Sinta, kakak Roni.
Hati Roni berdebar. Mereka melewati depan kamar Roni, lewat ruang tengah. Namun, tidak ada yang mengetuk kamarnya atau memanggil namanya.
“Betul, kan, mereka tidak peduli padaku,” kata Roni dalam hati.
Roni memasang telinganya baik-baik. Nah, ini dia saat yang ditunggu-tunggu. Orang tuanya, Sinta, dan Rini tentu kini sudah tiba di ruang makan.
“Pengumuman apa itu?” tanya Rini.
“Jeritan hati seorang anak,” jawab Sinta sambil membaca keras-keras lalu tertawa. Rini juga tertawa.
“Siapa yang menempelkan kertas itu?” tanya Ibu.
“Roni, Bu,” jawab Rini.
Roni terus memasang telinganya baik-baik. Ia sangat ingin tahu komentar selanjutnya. Akan tetapi tidak terdengar suara apa-apa. Bahkan, kedua kakaknya yang biasanya bawel juga diam.
Dengan perasaan heran, Roni duduk di bangku menghadapi meja belajarnya dan membuka buku pelajarannya. Namun, ia tak bisa memusatkan pikiran pada pelajaran. Yang ada dalam pikirannya adalah surat yang ditempelkannya di dinding ruang makan. Baris-baris kalimat yang ditulisnya seolah-olah terbayang di matanya.
JERITAN HATI SEORANG ANAK
Tak seorang pun memikirkan diriku.
Tak seorang pun di rumah ini mengerti diriku.
Hampir semua kawanku di kelas diizinkan menonton pertunjukan robot di Senayan.
Tapi, Ayah, Ibu dan kedua kakakku tida kberniat menontonnya.
Kata Ibu, "Karcisnya mahal."
Kata Ayah, "Lihat saja nanti!"
Kata kedua kakakku, "Apa, sih, bagusnya nonton robot?"
Padahal aku ingin sekali menontonnya.
Coba kalau ada pameran tanaman hias, pasti kedua kakakku ribut ingin pergi. Kalau ada pameran elektronika atau mesin-mesin, Ayah pasti tidak melewatkanya. Dan Ibu paling semangat kalau ada pameran buku.
Apa boleh buat. Aku hanyalah seorang anak. Aku tak berdaya.
Aku hanya bisa kecewa, kecewa, kecewa, kecewa ....
Roni
Roni duduk dengan jengkel. Ia semakin jengkel karena di luar tetap tidak ada orang yang membicarakannya.
“Rupanya mereka menganggap suratku angin lalu saja,” pikir Roni. Ia merasa makin sedih dan bernasib malang.
Pertunjukan itu tinggal tiga hari lagi. Agaknya tidak ada harapan lagi bagi Roni untuk menonton pertunjukan itu. Tiap hari kawan-kawannya membicarakan pertunjukan itu. Tiap hari teman-teman Roni membicarakan pertunjukan itu dengan penuh semangat. Heru pasti akan berusaha menyalami si robot. Roi dan Vicky sudah membeli karcis VIP supaya bisa melihat dengan jelas. Teman-teman yang lain pun akan pergi semua. Ada banyak yang membeli karcis kelas III. Sedangkan Roni tidak punya karcis sama sekali.
Tiba-tiba Roni mendengar suara desir minyak. Rupanya Ibu sedang menggoreng sesuatu di dapur. Lalu ada suara debur air di kamar mandi. Itu pasti Ayah yang sedang mandi.
Sekarang Roni sudah betul-betul yakin, tak ada gunanya berharap suratnya itu diperhatikan. Dia berusaha memusatkan pikirannya pada pelajaran sekolah. Lebih baik belajar sungguh-sungguh suapa ulangan besok berhasil baik.
Sesudah itu Roni keluar dari kamarnya. Ia merasa agak malu dan mau menyobek kertas yang tadi ditempelkannya. Roni berjalan ke ruang tengah. Di situ ada Sinta dan Rini sedang bermain halma.
Melihat Roni, Sinta berkata,”kecewa, nih, yeee!”
Roni diam saja. Ia terus berjalan ke ruang makan. Ia melihat ada dua helai kertas dan selembar karcis pertunjukan robot. Lekas-lekas Roni mendekat dan membaca surat yang sebuah lagi.
JAWAB AN ATAS JERITAN HATI SEORANG ANAK
Terlampir sehelai karcis untuk Roni yang kami sayangi.
Semoga tidak kecewa lagi.
Ketahuilah, sudah beberapa hari kami berusaha, supaya adaorang yang bisa menemanimu nonton pertunjukan tersebut.
Baru hari ini kami berhasil.
Kamu bisa pergi nonton dengan Mas Hari sepupumu.
Nanti kamu akan diantar dan dijemput.
Kebetulan Mas Hari juga ingin pergi.
Kedua kakakmu sudah bersusah-payah untuk antre karcis.
Ayah dan Ibu bersedia mengeluarkan uang ekstra untuk membeli karcis tersebut.
Semua itu demi Roni yang kami sayangi.
Ayah, ibu dan kakak-kakakmu.
NB: Jangan lupa angkat kertas-kertas ini dari dinding.
Roni tersipu-sipu. Sambil memegang karcis idamannya ia menuju ke dapur. Tepat saat itu pintu kamar mandi terbuka dan Ayah keluar dari kamar mandi.
"Terima kasih, Pak. Terima kasih, Bu!" kata Roni dengan gembira.
"Dan eh... maaf, aku kurang sabar!"
Ayah dan Ibu tertawa. Lalu Roni berlari menjumpai kedua kakaknya.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna.
Lihat juga video ini, yuk!
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR