Ini tahun kedua Dewi jauh dari kedua orang tuanya. Dewi memutuskan untuk ikut Bibi tinggal di kota untuk melanjutkan sekolah karena tidak ada sekolah menengah di desa. Awalnya, ini tidak mudah untuk Dewi, tetapi ia mencoba terus bersemangat untuk meraih cita-citanya.
Dewi duduk di meja belajarnya, memikirkan cerita apa yang akan ia tuliskan sebagai tugas mengarang cerita berbahasa Indonesia. Cerita yang terpilih akan disampaikan di depan kelas. Topik yang diberikan adalah tentang pengalaman paling menyenangkan bersama Ibu. Tidak lama kemudian, Dewi mengingat sesuatu. Ia tersenyum dan segera menulis.
(BACA JUGA:Semoga Ibu Cepat Sembuh)
Kelas mulai riuh. Sebentar lagi Bu Guru Sonia akan menyebutkan murid pertama yang menyampaikan ceritanya di depan kelas. Dewi merasa gugup karena belum terbiasa bercerita di depan banyak teman. Apalagi sebagian besar teman di SMP ini sudah kenal sejak SD, sedangkan Dewi berasal dari desa yang jauh.
Cerita pertama disampaikan oleh Gilang. Ia bercerita tentang pengalamannya bersama Ibu saat tersesat di Singapura. Itu terjadi saat mereka libur bersama. Cerita kedua disampaikan oleh Nabila tentang pengalamannya menanam bunga dari berbagai negara di taman belakang rumahnya.
(BACA JUGA:Semangkok Sup Ikan untuk Ibu)
“Nah, cerita terakhir akan disampaikan oleh Dewi,” kata Bu Guru Sonia. Dewi tersentak kaget. Ia melihat ke kiri dan ke kanan. Semua teman sedang menatapnya.
“Ayo Dewi, maju…” panggil Bu Sonia.
“Iii..yaaa… Bu,” kata Dewi masih gugup.
Dewi sudah ada di depan kelas. Ia melihat ke seluruh kelas. Semua temannya kini menatap Dewi, menunggu ia memulai ceritanya.
“Ini cerita yang sederhana antara aku dan ibu…” kata Dewi memulai.
“Cerita ini sudah lama terjadi karena kami sudah tidak bertemu selama dua tahun karena aku bersekolah di kota, sedangkan Ibu ada di desa yang jauh. Aku sangat merindukannya. Ibu berjanji datang ketika aku lulus SMP nanti…” Mata Dewi berkaca-kaca, tetapi ia coba melanjutkan.
(BACA JUGA:Antara Susi, Sushi, dan Kenangan Ibu (Bagian 1))
“Sore itu tinggal aku berdua dengan Ibu karena Bapak dan adik sedang menemui kepala desa. Saat itu hujan. Aku berpikir, pasti enak jika makan mi kuah yang hangat. Ibu setuju dengan ideku. Kami segera ke dapur. Ternyata tinggal satu bungkus mi untuk dibuat. Aku dan ibu saling berpandangan. Ibu bilang, mi itu untuk aku saja. Aku bilang, mi itu untuk ibu saja. Akhirnya kami sepakat agar mi itu dibagi dua. Ibu dan aku memasaknya bersama. Kami menambahkan sayuran dan cabai yang dipetik dari halaman belakang. Kami juga menambahkan telur ke dalamnya.”
Dewi berhenti sebentar. Teman-temannya menatapnya lekat ingin mendengar kelanjutan ceritanya.
“Mi sudah masak. Aromanya sangat enak. Kami memakannya sambil menonton televisi yang gambarnya kadang hilang karena angin yang menggoyangkan antena. Aku melihat ibu hanya makan sedikit-sedikit saja. Sendoknya tidak penuh. Namun, ia berkata agar aku makan yang banyak. Kira-kira tinggal empat sendok lagi, ibu berhenti makan. Ibu berkata agar aku saja yang melanjutkan makan karena ia kenyang. Menurut teman-teman apakah benar kenyang?” tanya Dewi.
Hampir semua teman menggeleng.
“Iya, tentu Ibu tidak kenyang karena itu hanya satu mi yang dibagi dua. Apalagi ibu hanya menyendoknya sedikit-sedikit saja. Namun, hal yang aku sadari adalah ibu begitu menyayangi aku. Ia rela berbagi apapun denganku. Bahkan memberikan lebih banyak untukku. Aku yakin, setiap ibu begitu menyayangi anaknya, lewat hal-hal paling sederhana. Aku pun menyayangi ibu, maka dari itu aku bersemangat untuk belajar untuk membuatnya bangga.”
Dewi membungkuk, pertanda ceritanya selesai. Semua teman-teman bertepuk tangan. Bu Guru Sonia juga bertepuk tangan. Cerita Dewi saat itu membuat teman-temannya juga menyadari betapa ibu selalu menyanyangi mereka, dari hal kecil sampai hal yang besar.
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR