"Ada apa Panglima? Engkau tampak gugup sekali?"
"Ampun, Baginda. Prajurit kita kehabisan anak panah," lapor Panglima. "Apa? Kehabisan anak panah?" tanya Baginda tidak percaya.
"Baginda, kita sudah berperang seiama tiga belas buian. Anak panah yang tersisa tingga! Untuk hari ini."
Wajah Baginda menjadi tegang. Ia berpikir keras. Lalu berkata,
"Pengawal! Panggil Lapuk, juru tamanku. Segera bawa kemari!" Panglima heran. "Untuk apa Baginda memanggil juru taman?" pikirnya.
Sebentar kemudian datanglah Lapuk, si juru taman.
"Lapuk, apakah pohon jambe yang kau tanam sudah berbuah?" tanya Banginda Syaiful Syah.
"Sudah, Tuanku," jawab Lapuk sedikit heran.
"Banyakkah jumlahnya?" Tanya Baginda lagi.
“Tidak terhitung jumlahnya, Baginda. Sangat banyak." Baginda tersenyum riang.
"Panglima! Perintahkan para prajurit untuk memetik buah jambe yang sudah tua. Ajak rakyat untuk membantu. Kita pakai buah jambe sebagai peluru," perintah Baginda.
"Namun, Baginda. Dengan apa buah jambe akan dilontarkan?" tanya Panglima.
Baginda tersenyum melihat panglimanya kebingungan. "Pakailah busur, Panglima. Di busur ada karetnya. Patahkan gagang busur menjadi dua bagian. Jadikan ketapel."