Keajaiban Pada Malam Bulan Biru

By Sylvana Toemon, Kamis, 3 Mei 2018 | 04:00 WIB
Keajaiban pada malam bulan biru (Sylvana Toemon)

Sore itu, Peter berjalan menyusuri koridor apartemennya yang bobrok dan sempit. Wajahnya tampak muram karena ia baru saja dipecat. Toko tempatnya bekerja bangkrut.

“Ted… Ted… air… air…,” terdengar suara rintihan Kakek Tom dari pintu apartemennya yang sedikit terbuka.

Peter masuk ke dalam apartemen Kakek Tom. Kakek Tom terbaring lemah di atas tempat tidur. Tubuhnya agak demam. Peter mengambilkannya minum dan mengompresnya.

“Ted?” tangan keriput Kakek Tom menggenggam tangan Peter.

“Bukan, Kek, ini Peter,” jawab Peter. Kakek Tom mengangguk pilu. Peter tahu Kakek Tom amat merindukan Ted, cucu satu-satunya. Entah kenapa, Ted tak pernah mengunjunginya, padahal Kakek Tom sudah lemah tubuhnya.

Peter menyuapi Kakek Tom bubur dan menemaninya sampai tertidur. Setelah itu, Peter kembali berjalan menyusuri koridor.

“Kak Peter?” panggil Rossy dari apartemen di samping apartemen Kakek Tom.

“Halo, Rossy,” sapa Peter sambil membuka pintu apartemen Rosy. Rossy menghampirinya dengan kursi rodanya.

“Tolong betulkan kotak musik balerinaku, Kak,” pinta Rossy.

Peter mengambil kotak musik berhiaskan balerina yang bisa berputar. Kotak musik itu sering rusak, tetapi itu harta terindah Rossy. Rossy punya cita-cita menjadi balerina. Ia amat berharap suatu saat ia bisa berjalan dan menari kembali.

Setelah membetulkan kotak musik Rossy, barulah Peter masuk ke apartemennya sendiri. Marion, istrinya yang cantik, menyambutnya dengan pelukan hangat. Ia  sudah menyiapkan sup sederhana untuk makan malam mereka.

 Melihat wajah Marion, Peter tak mampu menceritakan tentang toko yang bangkrut. Usai makan malam yang sepi, mereka mengobrol sejenak sebelum pergi tidur.