Dadong Griya

By Sylvana Toemon, Minggu, 1 April 2018 | 05:00 WIB
Dadong Griya (Sylvana Toemon)

Dadong Griya yang menakutkan itu, tinggal tepat di belakang sanggah rumah kami. Letak rumah yang saling membelakangi, membuat kami tak pernah bertemu. Kata Demas, Dadong itu bungkuk, bertengkuluk, dan sangat misterius.

Darus, kakakku yang paling berani, mengajak kami membuktikan bahwa Dadong Griya itu bisa menjadi leak. Setiap malam, kami mengintip dari jendela ke arah tembok pemisah sanggah kami dan rumah Dadong. Siapa tahu ada kilatan cahaya dan kelebatan siluman.

Suatu malam, secercah sinar memasuki sanggah. Lalu tiba-tiba menyorot ke arah jendela. Kami memekik dan berjatuhan. Terdengar langkah-langkah mendekat, lalu sinar itu menerkam kami!

“Aaaa…”

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tegur Bapak tegas. Oooh, ternyata Bapak dengan senter di tangan.

Suatu hari, kami menyandarkan sebuah tangga ke pagar tembok. Dari ketinggian, kami mengawasi keadaan di balik tembok. Di tanahnya yang luas, Dadong Griya membangun rumah-rumah kecil untuk dikontrakkan. Demas, teman Darus, bersama orang tuanya mengontrak rumah di sana.

Pohon manga yang terletak di sudut tanah itu, menarik minat kami. Cabang-cabangnya yang kokoh, berbuah banyak, menjulur ke arah sanggah. Seakan menantang keberanian kami untuk memetik. Tunut, Darus, dan aku bergantian menimpuki pohon mangga itu dengan batu dan potongan kayu.

“Kalian sungguh berani!” ujar Demas yang melihat kami. “Kalau Dadong Griya marah, matanya jadi merah. Gigi Dadong panjang dan hitam, rambutnya putih semua,”jelas Demas dengan nada seram.

“Apakah kakinya menyentuh tanah?” tanyaku. Hantu tidak menyentuh tanah menurut cerita yang kudengar.

“Gila kamu, Ninis! Kau pikir aku berani melihatnya!” Demas bersungut.

Selama-lamanya aku tak berharap bertemu nenek jahat itu. Tetapi suatu hari Darus kepergok saat sedang melempari mangga. Suara Dadong Griya melengking, “Awas, bila kulihat kalian!”

Darus terengah-engah berkata, “Matanya merah, rambutnya berkibar.”