Sejak itu kami tak pernah mengganggu pohon mangga Dadong Griya lagi. Tetapi, hari ini kami mendapat kabar baik dari Demas. Dadong Griya sedang pergi. Ia tak ada di rumah.
Tunut melempar ranting tinggi ke udara. Jatuh di dedaunan pohon mangga, lalu meluncur jatuh di atap rumah Dadong. Terdengar geraman mengerikan, “Grr-grrr, kaliankah itu, anak-anak nakal?”
Tunut, Darus, dan aku langsung berlarian masuk rumah. Tunut geram, “Sial! Demas tega membohongi kita! Katanya Dadong mungkin cari mangsa di tempat lain. Sebab darah bayi-bayi tetangganya telah habis dihisapnya.”
Kupejamkan mata rapat-rapat. Cerita Demas itu memang menakutkan. Hii, bagaimana kalau Dadong Griya tahu, bahwa saat ini hanya kami bertiga di rumah? Bagaimana kalau ia datang dan memangsa kami?
“Kita harus membukakan pintu bila Dadong Griya kemari. Bila tidak, ia bisa berubah menjadi leak dan masuk lewat lubang kunci. Yang penting, kita harus berani menatap langsung ke matanya. Hantu itu takut bila kita berani!” Tunut menjelaskan dengan suara bergetar. Ia membekali kami sebutir bawang merah dan mengajak bersembunyi di bawah jemuran. Setahu kami, leak takut pada bawang merah dan jemuran.
Esoknya, kami mendatangi Demas.
“Masa aku bohong!” tukas Demas. “Kemarin, Dadong Griya memang pergi pagi-pagi dengan tas besar. Hari ini juga! Kukira ia pergi jauh. Mana aku tahu kalau ia kembali secepat itu!”
“Kalau begitu, sepulang sekolah nanti kau ikut melempari pohon mangga Dadong Griya! Kalau bohong, kamu sendiri yang kena getahnya!” kata Tunut.
“Aku tak bohong!” bantah Demas. “Kalian tahu tidak, sekarang Mbok Dasni jadi korbannya. Sebelah kaki Mbok Dasni bengkak. Dadong Griya benar-benar kehabisan mangsa anak-anak, sekarang ia menghisap kaki orang dewasa.”
Kami mengenal Mbok Dasni. Ia penjaja kue basah yang sering mampir ke rumah. Ia juga mengontrak rumah Dadong Griya.
“Kasihan Mbok Dasni!” keluhku.
“Tapi dia bodoh!” ujar Demas. “Ia mau saja menerima obat serbuk yang dikasih Dadong Griya. Pasti bengkaknya makin menjadi!”