Pengarang Kecil yang Kecewa

By Sylvana Toemon, Jumat, 18 Mei 2018 | 05:00 WIB
Pengarang Kecil yang Kecewa (Sylvana Toemon)

"Aku memang tidak berhasil. Untuk apa susah payah mengarang?" pikir Lala.  Dan ia memutuskan untuk berhenti mengisi buku harian.

Lima hari sudah berlalu. Lala tidak menulis karangan, bahkan ia tidak mengisi buku hariannya.  Lala patah semangat untuk menjadi pengarang.

Sore itu Ibu mengajaknya ke rumah sakit untuk menengok Tante Yani yang sakit. Lala mau saja.

"Tumben, biasanya kamu sibuk membaca dan menulis. Pengarang kita lagi jenuh, ya!" goda Ibu.

"Ganti acara, Bu. Tante Yani kan baik sama Lala. Masa dia dirawat di rumah sakit, Lala tidak jenguk!”  kilah Lala.

Di rumah sakit cukup ramai pengunjung. Seorang wanita tua yang duduk di kursi roda sedang mendoakan pasien di sebelah tempat tidur Tante Yani. Setelah selesai dan memberikan kata-kata penghiburan ia mengayuh kursi rodanya dan mendekati TanteYani.

"Selamat sore, boleh saya doakan?" tanyanya dengan ramah.

Tante Yani mempersilakan. Setelah selesai berdoa, Tante Yani berkata, "Ibu ini juga dirawat di rumah sakit. Ibu jari kakinya dipotong karena sakit diabetes, Setiap hari ia berkeliling dari kamar ke kamar untuk menghibur dan mendoakan pasien-pasien lain.”

"Yah, saya bersyukur masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk melayani orang-orang lain," kata ibu tua itu."Saya jadi lupa akan penyakit saya kalau sedang berkeliling!"

"Ibu ini juga seorang pengarang. Ia suka menulis di majalah wanita," Tante Yani menjelaskan.

"Anak saya Lala juga ingin jadi pengarang. Sudah dua kali karyanya dimuat di majalah anak-anak!"  tahu-tahu Ibu sudah memberitahu.

Lala tersipu-sipu. "Saya tak mau lagi jadi pengarang. Rasanya sulit dan saya tidak berbakat!" kata Lala. "Empat karangan saya ditolak oleh majalah. Di kelas karangan saya tidak termasuk dalam lima karya terbaik."

Ibu tua itu tersenyum. "Bakat itu hanya 10 persen, yang 90 persen a dalah usaha. Soal ditolak, penulis ternama pun mengalami. Dan mengarang bukanlah soal bersaing di  kelas. Kita mengarang karena kita senang mengarang, karena ada sesuatu yang baik yang ingin kita sampaikan. Kita berusaha sebaik-baiknya. Soal berhasil atau tidak itu bukan urusan kita lagi. Dan kita perlu setia, tahun demi tahun terus belajar dan menulis. Dalam melakukannya kita memperoleh kepuasan batin dan karya kita boleh berguna bagi para pembaca," ibu tua itu menjelaskan.

Lala terpesona.l amendengarkan dengan penuh perhatian dan kata-kata itu  seolah terus bergema.

"Nah, Lala, teruslah menulis, jangan kecewa, lalu mundur!" pesan ibu tua itu. Kemudian ia pamit dan pergi melayani pasien lain.

Sepanjang perjalananpulang kata-kata Ibu tua itu terus berkumandang di telinga Lala dan ia mendapat semanga baru. Latak perlu kecewa dan merasa gagal karena karyanya tidak terpilih dalam lima karya terbaik di kelas. Mengarang bukan soal bersaing, tapi ingin menyampaikan sesuatu yang baik.

Malam itu Lala kembali menulis di buku hariannya. Ia mencatat perjumpaannya dengan ibu tua di rumah  sakit. Bahkan ia menuliskan bagaimana ibu tua yang berada di kursi roda masih maumenolong orang lain. Hati Lala tersentuh. La merasa ia sendiri kurang menolong orang lain.  Selama ini ia suka malas bila diajak Ibu menjenguk orang sakit. Dan justru di rumah sakit ia mendapatkan pengalaman yang berharga.

Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Widya Suwarna